Tragedy

1.7K 297 83
                                    

Kalau tahu jatuh cinta bisa berakibat sefatal ini, aku memilih untuk membekukan hati. Hidup dengan Papa selama-lamanya saja mungkin lebih baik ketimbang memikirkan pernikahan, kemudian berakhir menyedihkan. Menjadi anak Papa yang hanya berlindung di rumah mewahnya mungkin keputusan bijak daripada membiarkan hati tertebas oleh kecewa.

Belum  pernah ada yang menyakitiku sedalam ini. Sakit dan nyerinya bahkan tak bisa lagi aku deskripsikan. Mungkin ini karena aku mencintainya terlalu dalam, maka saat kecewa pun aku merasakan kedalaman yang sama. Di titik ini aku berpikir, kalau cinta hanya berujung penderitaan, lalu untuk apa dihadirkan?

Semua mimpi indah dan imajinasi perihal masa depan penuh warna yang pernah kami rangkai bersama lenyap begitu saja. Tidak ada lagi yang tersisa. Aku tidak peduli tentang kata-kata cinta adalah penerimaan. Seharusnya kalimat itu diikuti oleh tindakan nyata. Tapi apa yang terjadi padaku adalah kebalikannya. Aku dibohongi. Aku merasa Reinard curang, karena aku telah jujur apa-apa saja yang aku lalui di Bali.

Hatiku, kasih sayangku, dan segala perhatian yang aku beri, kupikir benar-benar akan dijaga dengan baik. Foto-foto Reinard berciuman dengan para perempuan itu telah membuktikan kalau semua yang aku beri padanya ternyata sia-sia. Apa yang kami lalui selama ini bisa jadi hanya bercandaan untuknya.

Bagaimana aku bisa percaya kalau tindakannya karena dia mencoba melupakanku? Aku masih ingat jelas dia tersenyum senang sembari memeluk perempuannya yang tak memakai pakaian. Yang lebih membuatku sakit, perlukah dia mengambil foto dengan pose seperti itu? Untuk apa? Untuk dia pandangi setiap malam?

Apa ada jaminan kalau Reinard tidak lagi berhubungan dengan perempuan-perempuan itu? Siapa yang tahu dia kembali membawa beberapa perempuan ke apartemen kemudian bercinta? Aku sendiri tidak yakin bahwa dia bisa mengendalikan nafsunya setelah percintaan kami hari itu. Dia berjanji itu adalah yang terakhir sebelum kami resmi menikah. Tapi dengan adanya foto-foto itu, aku berasumsi kalau dia mencari kepuasan bersama yang lain.

“Pertemuan kita selesai, karena Lyra udah memutuskan untuk berpisah dengan Reinard.”

Papa memecah keheningan yang ada setelah Reinard diam dan kembali duduk. Aku masih berdiri, meski telah dibujuk Tante Shila untuk duduk. Pertemuan ini masih belum selesai.

“Belum, Pa. Masih ada yang belum selesai.”

“Apa lagi, Lyra? Kamu mau biar Reinard pergi dari sini? Papa akan suruh dia per—”

“Aku dan Papa yang belum selesai,” potongku tanpa ragu. “Semoga Om Bahari masih mau di sini untuk dengerin, sebentar aja.”

Ucapanku memberi efek terkejut pada Papa dan Om Bahari. Mereka pasti bertanya-tanya apa yang hendak aku sampaikan. Reinard menunduk dengan cincin yang masih dia genggam, sedangkan Tante Shila dan Alex tidak memberi respons.

“Kamu bisa bicara, Lyra. Papa akan dengar.”.

“Tolong jangan menyela. Tolong jangan bicara sampai aku selesai.”

Papa mengangguk.

“Aku kecewa sama Papa dan Om Bahari, tapi lebih cenderung ke Papa. Kalian bersandiwara di belakang aku, berusaha menguak tentang Reinard hanya untuk membuktikan Reinard berengsek. Selamat, kalian berhasil.”

Setelah sempat berhenti, kini air mataku lagi-lagi tumpah. Papa menatapku lemah, tapi urung bicara sepatah kata saja. Tanganku yang mengepal mendapat sentuhan. Aku yakin Tante Shila yang menggenggam. Air mataku malah semakin deras karena ada kehangatan di tengah kekacauan ini.

“Ini cara Papa melindungi aku dan menyayangi aku? Dengan cara ngasih harapan sebelum aku dijatuhkan? Papa hebat bisa punya pemikiran seperti itu. You did your best, Papa.”

Conquering Lyra (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now