🐬 Part 29 🐬

Start from the beginning
                                    

Beberapa saat kemudian, sebuah mobil berhenti di belakang mobilnya. Keadaan yang gelap, dan hanya cahaya lampu dari mobil itu yang tersorot, membuatnya tidak bisa melihat mobil yang baru saja berhenti itu dengan jelas. Hingga ia mendengar suara pintu mobil itu terbuka dan tertutup kembali. Sempat ada rasa khawatir dalam dirinya, takut-takut jika nanti dia adalah orang jahat. Bagaimana tidak, sedari tadi ia mencoba memberhentikan mobil tidak ada satu pun yang berhenti. Sekarang, hadirlah satu mobil dengan suka rela tanpa dipinta berhenti di dekatnya.

"Alvie?" Hingga suara familiar membuatnya terkejut, ada rasa sedikit penyesalan kenapa orang ini yang harus datang sebagai penolongnya. Namun, rasa syukur lebih besar ia ucapkan karena ia tidak perlu ketakutan akan kejadian yang menimpanya. Tak lama, sosok yamg ia kenali hanya dari suaranya itu pun terlihat berdiri di depannya. Menggunakan kaos biru polosnya, laki-laki itu pun juga tidak memakai payung yang membuat tubuhnya turut tertimpa air hujan. "Alvie, kamu kenapa ada di sini?" tanyanya lagi.

Dalam keadaan canggung dan menggigil, Alvie menjawab terbata. "Mm ... mobilku mogok lagi?" Alvie dapat melihat raut terkejut dari laki-laki di hadapannya.

"Kalau begitu, ayo masuk dulu ke mobilku." Tidak ada jawaban dari Alvie, hanya ada bibir yang bergetar karena rasa dingin yang ia rasakan. Bahkan ia pun memeluk tubuhnya sendiri. "Tidak ada orang lagi di sini, Vie. Lebih baik aku antar kamu saja." Di saat yang bersamaan, hujan kembali turun lebih deras lagi. Kali ini, angin pun turut menyertainya. Membuat laki-laki itu menarik Alvie untuk masuk ke mobilnya.

Setelahnya, ia turut menyusul untuk masuk. Untuk sesaat, keduanya sama-sama terdiam di dalam mobil. Hingga laki-laki itu meraih jaketnya di bagian tempat duduk kedua dan memberikannya pada Alvie. "Pakailah! Setidaknya cukup mengurangi hawa dinginnya."

Ada sedikit keraguan dari Alvie, namun tak ayal ia menerimanya. Tidak ada pilihan lagi. Belum lagi, suara hujan dan angin dari luar mobil terdengar semakin keras. "Terima kasih, Diz," ucap Alvie dengan senyuman.  Ya, laki-laki itu adalah Diaz. Yang sejak dua hari lalu tak ia lihat keberadaannya.

"Sudah menghubungi bengkel?" tanya Diaz yang mendapat gelengan dari Alvie. "Kenapa?"

"Ponselku mati." Diaz mengangguk.

"Kalau begitu, biar aku hubungi bengkel langgananku saja." Alvie mengangguk, karena ia juga tidak mempunyai pilihan lain. Terlihat Diaz yang tengah mengotak atik ponselnya. Sesaat kemudian, Diaz menoleh padanya. "Sebaiknya, kita jalan sekarang. Hujan semakin lebat." Lagi, tidak ada sahutan yang ia berikan, dan Diaz pun langsung menjalankan mobilnya.

Keheningan terjadi di dalam mobil, keduanya hanya saling lirik dan menyimpan pertanyaan yang sama di pikiran mereka. "Kamu dari mana? Kok jam segini masih di jalan?" Diaz yang sejak tadi merasa penasaran akhirnya mengutarakan pertanyaannya.

"Dari toko," jawab Alvie singkat.

Mata Diaz membulat, merasa terkejut dengan alasan Alvie. Ini sudah hampir tengah malam, dan Alvie baru pulang dari toko? "Dari toko?" tanya Diaz dengan nada yang jelas akan rasa terkejutnya, dan Alvie hanya mengangguk sekali. "Jam segini? Toko kamu sekarang tutupnya lebih malam?"

Alvie menoleh dan menggeleng. "Tidak, toko tutup seperti biasa. Hanya saja aku sedang malas pulang. Dias masih menginap di rumah Rakka." Diaz hanya mengangguk. Hening kembali. Tidak ada percakapan lagi. Suara hujan yang semakin deras di luar mobil pun tidak mampu menyaingi keadaan hening di antara keduanya.

"Kamu sendiri ... dari mana?" Alvie yang kali ini bertanya. Satu sudut bibir Diaz menarik seulas senyuman, tetapi hanya sekejap. Diaz tidak ingin Alvie melihatnya. Alvie tidak boleh tahu jika dia merasa bahagia karena pertanyaan Alvie. Bisa dikira berlebihan nanti dirinya.

Still Loving Him ( Po / End) Where stories live. Discover now