🐬 Part 29 🐬

460 28 2
                                    

Still Love Him

Part 29

🐬🐬🐬🐬🐬🌷🌷🌷🐬🐬🐬🐬🐬



Alvie memandangi bunga Anggrek biru kesukaannya, di jam sembilan malam ini, ia masih berada di toko bunganya. Padahal, tokonya sudah tutup sejak satu jam yang lalu. Dias yang memang masih menginap di rumah Rakka membuatnya malas untuk pulang ke apartement. Ia merasa sepi jika tidak ada ocehan putranya di rumah. Ya. Sepi. Sangat sepi. Sejak dua hari yang lalu ia merasakannya. Entah di rumah, atau pun di tokonya. Entah kenapa. Hanya saja ... ia merasakan sepi itu sejak—Diaz tak lagi datang ke tokonya. Ya, sejak perdebatan di bawah guyuran hujan dua hari lalu, keesokan harinya Diaz tidak datang ke tokonya. Pun dengan hari ini dan juga bunga yang biasanya Diaz kirim untuknya jika Diaz tidak bisa datang. Apa Ia merindukan laki-laki itu? Tidak. Ia tidak merindukannya. Ya, hanya penasaran saja.

Teh panas yang ia beli sebelumnya kini tidak lagi panas, uap yang sebelumnya mengepul pun kini sudah tidak ada. Ia raih cangkir berisi teh itu dan ia teguk isinya. Masih sedikit hangat. Cukup mampu untuk membasahi tenggorokannya, dan—cukup menghangatkan tenggorokannya dari cuaca dingin di hujan yang mengguyur bumi sejak magrib tadi. Ah, musim hujan. Suka sekali menurunkan airnya tanpa memberi tahu. Tanpa melihat waktu. Akhir-akhir ini memang sering turun hujan di kota ini. Jarum jam yang menempel di dinding sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Alvie meraih kunci tokonya, bangkit dan berjalan keluar dari toko. Setelah memastikan semua kaca tertutup, Alvie pun mengunci toko dan segera memasuki mobilnya.

Hujan masih setia bertamu malam ini. Malahan, sepertinya jatuh airnya lebih deras. Alvie segera menjalankan mobilnya agar ia bisa cepat sampai di rumah, mengingat waktu yang memang sudah sangat larut. Ia ingin segera membenamkan tubuh lelahnya pada air hangat beraroma lavender kesukaannya, merilekskan tubuh dan menenangkan pikirannya dari segala aktifitas yang sudah ia lalui hari ini. Setelahnya, ia mungkin akan memasak mie instan kuah yang akan ia tambahkan beberapa sayuran, sosis, baso, irisan cabai, saos sambal dan ... bubuk cabai mungkin. Ah, menu makanan tadi terdengar menggiurkan di telinga dan bibirnya. Tidak sehat memang. Hanya saja, menu itu terasa sangat pas bila di makan di keadaan seperti ini. Penat, dingin karena hujan. Bahkan, Alvie sempat mendesis membayangkannya. Seolah ia bisa merasakan kuah mie instan yang terasa pedas. Mantap sekali.

Namun, semua bayangannya itu buyar seketika ketika mobilnya tiba-tiba saja berhenti. Alvie sempat merasa bingung, berulang kali ia mencoba untuk menyalakannya kembali. Akan tetapi, percuma. Tidak bisa. Mobilnya tetap tidak mau menyala. Satu kesimpulan bagi Alvie. Mobilnya, mogok kembali. Ah, baru saja beberapa waktu lalu mobilnya ini masuk bengkel, tetapi sekarang sudah ingin masuk bengkel lagi. Ingatkan Alvie untuk segera membeli mobil baru dan segera mengrongsokan mobil ini.

Alvie meraih ponselnya, bermaksud untuk menghubungi bengkel langganannya. Namun, hal itu percuma. Alvie berdecak kala ponselnya mati karena kehabisan baterai. "Bagaimana ini?" tanyanya pada dirinya sendiri yang tentu saja tidak akan mendapatkan jawaban. Ia mencoba melihat ke luar jendela mobil, berharap melihan seseorang yang bisa ia mintai pertolongan. Akan tetapi, nihil. Tidak ada seorang pun yang bisa ia lihat. Hanya beberapa mobil yang lewat. Memangnya kau berharap apa, Vie? Waktu sudah menunjukkan hampir jam sebelas malam. Jamnya untuk beristirahat, memangnya siapa yang akan berkeliaran berjalan kaki di jam seperti ini? Sebentar, sebelas malam? Memangnya berapa lama ia mengendarai mobil tadi? Bukankah ia mengendarainya dengan cepat? Sepertinya ... itu hanya halusinasinya saja yang ingin cepat sampai di apartement.

Alvie memilih turun dari mobil. Saat di luar, ia baru sadar jika hujan terasa lebih deras dari sebelumnya. Baru sebentar di luar mobil, tubuhnya pun sudah basah kuyup. Alvie mencoba membuka kap mobilnya, segala tatanan mesin menyambutnya. Bodoh! Kau mana mengerti soal mesin Alvie? Tidak tahu ingin melakukan apa, Alvie pun tidak punya pilihan. Ia berdiri sedikit maju ke arah jalan, lalu berusaha menghentikan mobil yang kebetulan lewat. Akan tetapi, beberapa waktu ia lewati, beberapa mobil ia coba hentikan. Namun, tidak ada satu mobil pun yang mau berhenti. Di bawah guyuran hujan, Alvie menghela napasnya. Ia mundur dan menyandarkan tubuhnya pada badan mobil, wajahnya mendongak, membiarkan tetesan hujan jatuh di wajahnya. Tidak takutkan kau akan sakit Alvie?

Still Loving Him ( Po / End) Where stories live. Discover now