Chapter 4: Melody of Lullaby

11.3K 961 47
                                    

Deep inside my mind

The soul that have burned away

Never return to that place again

……..

.

.

 Seberapa buruk situasi yang menimpamu.

Mandi akan membuat segalanya jauh lebih baik.

Aku mencelupkan tubuhku ke dalam bak kayu berukuran besar di hadapanku sambil menutup mata perlahan-lahan.

Dan rasanya luar biasa.

Aku menggosok perlahan kulit tubuhku yang terasa sangat lengket mengingat kimono tebal yang membungkusku membuatku berkeringat tanpa henti sepanjang perjalanan kesini. Harum wewangian manis tampaknya telah dicampurkan ke dalam air dalam bak ini sehingga aromanya seakan merembesi setiap inchi kulitku.

Kulitku yang nantinya akan menjadi santapan bibir-bibir kotor menjijikan…

Aku membuka mata, memaksakan diriku untuk kembali pada kenyataan. Sambil mencelupkan tubuhku lebih dalam, sebuah pikiran melintasi kepalaku.

Apa aku akan diam saja dan membiarkan semua ini terjadi?

Membiarkan 16 tahun hidupku berakhir sia-sia seperti ini, apa aku akan diam saja?

Satu hal yang kusadari, satu langkah aku terjerembab dalam lembah permainan mematikan ini, tidak ada kata untuk berpaling apalagi kembali dari awal. Aku akan terus jatuh,

 jatuh dalam lembah hitam tak berhujung…

Dan hanya dapat diselamatkan oleh api kematian.

Selamanya aku akan merasa diriku kotor.

Selamanya aku akan merasa aku tidak lagi memiliki harga dan martabat sebagai seorang wanita.

Dadaku terasa sesak seketika.

Seakan-akan sebagian dari tubuhku mendesak agar aku segera melakukan sesuatu, namun sebagian dari nalarku berkata apapun itu semuanya akan sia-sia.

Ini takdirku.

Tidak ada yang dapat menyelamatkanku.

Dan satu-satunya cara yang dapat kupikirkan saat ini adalah

Lari.

Namun terlalu banyak pertimbangan yang harus kupikirkan. Aku bukan tipikal orang yang langsung terjun ke jurang ketika seseorang memintaku untuk melakukannya. Harus ada tujuan yang jelas. Harus ada rencana yang jelas. Dan aku harus bertindak cepat.

Sebelum matahari terbenam sebuah rencana pasti harus sudah ada dan terpikirkan.

Segera keluar dari bak air panas aku menyambar handuk dan mengeringkan diri secepat kilat, lalu membalut diriku dengan handuk aku berlari dan mengenakan kimono merah muda yang kupilih diantara 4 kimono lain karena motifnya yang sedikit polos dan warnanya yang tidak terlalu mencolok.

Setelah bersusah payah berkutat dalam balutan kimono dan selesai mengikat obi merah marun ke pinggangku, aku melipat kimono lamaku yang tergeletak di dekat ranjang sambil berusaha memikirkan sesuatu.

Aku menyempatkan diri menengok ke arah jendela, dan memperkirakan 2-3 jam lagi matahari akan terbenam.

Sesuatu…pasti ada suatu cara untuk kabur dari sini…

Aku lalu mengalihkan pandangan pada kimono lamaku yang tebal dan berlapis-lapis—sangat berbeda dengan kimono yang disiapkan disini dengan bahan tipis dan setelan hanya beberapa lapis. Aku jauh lebih memilih kimono lamaku tentu saja.

Bahkan sempat terpikirkan olehku untuk mengenakannya dibandingkan kimono tipis ini.

Namun hal itu hanya akan menarik perhatian Nona Jun. Ia pasti mengenali kimono khusus yang telah dipilihkannya. Dan lagipula apapun pakaian yang kugunakan tidak akan jadi masalah mengingat yang terpenting adalah tubuhku.

Sebuah sengatan listrik kembali terasa di sekujur tubuhku.

Aku menggigit bibir untuk mengatasinya dan meneruskan untuk melipat kimono.

Dan sesuatu menangkap pandanganku.

Aku menyipitkan mata untuk melihat sesuatu yang tampak seperti botol kaca kecil, terselip diantara lipatan obi kimono lamaku. Aku mengambilnya. Botol kecil itu berisikan sebuah cairan bewarna merah muda dan sekilas terlihat seperti parfum.

Mungkin minyak wangi ibu terselip?

 Aku membuka tutup botol kecil itu dan segera menghirup aroma familer.

Memejamkan mata, aku mencoba mengingat aroma ini.

Ini bukan minyak wangi.

Aku mendekatkan hidungku beberapa senti lebih dekat ke arah lubang botol kecil itu.

 Lebih seperti aroma herbal dengan bau yang tidak terlalu menyengat namun mengingatkanku pada sesuatu.

Mataku terbelalak.

Aku mencoba meneteskan sedikit dari cairan itu ke jariku dan menjilatnya sedikit tanpa menelannya. Mencoba mengecapnya. Rasanya sedikit asin. Seperti keringat namun menyisakan rasa pahit di bagian belakang lidah.

Tidak salah lagi.

Ibu menyelipkan racun ke lipatan obi-ku.

Sebuah insting mendorongku untuk mengacak obi lamaku, meraba-rabanya, berharap menemukan sesuatu lagi.

Dan sesuai dugaanku terdapat secarik kertas yang dilipat sangat kecil disana.

Aku membukanya dengan tergesa-gesa dan membaca pesan singkat yang tertera disana.

Lari,

Tetaplah hidup

Aku mengenalinya sebagai tulisan tangan ayah.

Kami menyayangimu

Kami percaya padamu

Dan dua baris terakhir adalah tulisan tangan ibu.

Aku melipat kembali kertas itu dan meletakannya dalam pangkuanku. Menghela nafas sangat panjang, mendongakan kepalaku ke atas.

4 baris pesan itu terngiang-ngiang di kepalaku seperti nyanyian sebelum tidur. Dan tanpa kusadari tetesan air membasahi kain kimono di pangkuanku. Setengah tidak percaya aku menyentuh pipiku dan merasakan jejak air mata di sana.

Aku tidak tahu mengapa.

Tapi aku menangis.

Menangis karena situasi ini, karena pesan singkat itu, karena segalanya yang terjadi padaku.

Namun ketika aku sadar tidak akan ada gunanya untuk mengasihani diri sendiri, aku menyeka air mataku dengan cepat dengan tangan punggun tangan kiriku sementara tangan kananku menggenggam botol kaca kecil berisikan racun.

Aku lalu memejamkan mata.

Dan potongan-potongan rencana, kalkulasi, serta presentase peluang segera terlintas di benakku.

***

HANABITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang