Chapter 2: Worse Than Death

12.7K 993 28
                                    

The emptiness that fill my heart

Keep crawling inside

And keep me understand nothing

The meaning of life

…………………….

………………

.

.

Hidup itu sangat lucu.

Dua hari yang lalu aku masih berkutat dengan busur dan panah, sementara kemarin aku masih sempat berlatih pedang dan memasak hewan buruanku untuk makan malam keluarga.

Dan hari ini disinilah aku.

Satu langkah untuk menjadi seorang pelacur, bersama dengan sebelas gadis lain yang sedang duduk menekuk lutut, berdesak-desakan dalam muatan kereta kuda pengangkut barang.

Udara disini pengap. Dan hanya ada sebuah jendela kecil di bagian paling atas yang menjadi satu-satunya sumber cahaya bagi kami.

Beberapa diantara gadis-gadis itu masih menangis. Namun pula ada yang memilih untuk diam—seperti yang aku lakukan.

“Menurutmu kemana mereka akan membawa kita?”

Seorang gadis yang sejak tadi duduk di kiriku berbisik tanpa menoleh padaku. Ia sama sepertiku, memilih untuk diam sejak tadi.

“Tidak ada yang dapat kita lakukan kalaupun kita tahu.” Ucapku sambil tersenyum pahit, lebih kepada diriku sendiri.

Dia mendengus kecil mendengar ucapanku, “Benar juga.”

“Namun kemungkinan besar mereka akan membawa kita ke Ibu Kota.”  Ucapku datar.

Aku dapat merasakan tatapan sepuluh orang lainnya kepadaku setelah aku mengucapkan kalimat itu.

“Maksudmu ke Edo? Darimana kau yakin?” tanya gadis disampingku lagi. Dan dari nada bicaranya, ia sama sekali tidak memiliki kegentaran dengan apa yang akan terjadi.

“Ikat pinggang tiga laki-laki yang membawaku. Ada lambang yang digunakan klan Tokugawa untuk menandakan orang suruhan mereka. Hanya orang-orang dari dari Edo yang berurusan langsung dengan klan Tokugawa.” Ucapku runtut.

“Klan Tokugawa?!” salah satu dari sepuluh gadis lainnya memekik. Sementara yang lain tidak tahu reaksi macam apa yang harus mereka berikan.

“Jadi kita akan dijadikan wanita penghibur bagi klan kelas atas?”

“Belum tentu. Ada beberapa kemungkinan,” ucapku, lebih seperti menggumam. “Pertama mereka menggunakan kita untuk klan mereka sendiri, kemungkinan kedua mereka menggunakan kita untuk kembali dijual seperti budak,” samar-samar, aku dapat menyaksikan tatapan horror dari beberapa orang gadis.

“Kemungkinan ketiga kita digunakan untuk para samurai, atau mungkin kita akan di obral di pasar perdagangan seperti sapi gelondongan. Namun apapun yang terjadi pada kita, aku yakin ini semua adalah kontrol dari klan Tokugawa.”

Dan dengan berakhirnya kalimat terakhirku, kami kembali kalut dalam kesunyian. Beberapa diantara gadis-gadis itu kembali menangis. Kemungkinan besar membayangkan betapa semena-menanya klan elit itu akan memperlakukan orang rendahan seperti mereka. Berjam-jam telah berlalu, dan langit semakin gelap. Hampir seluruh gadis dalam muatan ini telah tertidur pulas kecuali aku…

“Ngomong-ngomong aku Ayumi.”

Ucapan gadis disebelahku membuyarkan lamunanku untuk kedua kalinya. Dia juga masih terjaga rupanya.

“Hanabi.” Ucapku singkat.

“Nama yang bagus.”

Aku mengerutkan kening. Itu pertama kali seseorang mengatakannya padaku. Ibuku sendiri yang memberikan nama itu bahkan tidak pernah mengatakan hal itu.

“Terima kasih.” Aku mendelik dan samar-samar melihatnya tersenyum manis. Dia menggunakan bedak yang cukup tebal. Namun dibalik itu, aku dapat melihat seberapa cantik wajah Ayumi sebenarnya.

“Kau gadis yang unik Hanabi. Aku dapat merasakannya pertama kali melihatmu.”

Dia hanya bergurau.

“Kau cerdas. Menganalisis situasi dengan cepat, aku tidak melihat kegentaran di matamu sedikitpun. Percayalah kau dapat melewati semua ini dengan teguh.”

Teguh? Aku menyeringai tipis mendengar kata itu.

Kita lihat saja nanti.

“Aku juga tidak melihat kegentaran di matamu.” Ujarku tanpa menoleh padanya.

Dia hanya tertawa kecil menanggapinya.

“Keluargamu menjualmu?”

“Begitulah,” gumamku. Aku benar-benar muak membahas hal itu.

“Kau bagaimana?” tanyaku balik.

Ayumi menyunggingkan senyum tipis dari sudut bibirnya, “Kau mungkin berpikir ini aneh, tapi aku menjual diriku sendiri pada mereka.”

Aku tertegun mendengarnya, “Aku tidak berpikir itu aneh. Bagaimana kau bisa mengambil keputusan seperti itu?”

Dia kembali mendengus, “Aku tinggal dengan kakakku yang adalah seorang janda dengan tiga orang anak. Suaminya meninggal dua tahun lalu sementara kami hidup terpisah dari orang tua kami. Kakak bekerja kasar setiap hari untuk menghidupi kami berempat. Sementara aku…penghasilanku tidak seberapa untuk menghidupi kami. Sementara itu harga di pasar semakin melambung. Melihat kakakku yang semakin tua namun harus bekerja keras aku…tidak tahan. Dan inilah yang kulakukan sekarang.”

“Kau berhati mulia.” Aku benar-benar tulus mengucapkannya.

“Aku hanya membalas budi. Membalas budi itu adalah kewajiban kita sebagai manusia’kan?” paparnya tenang.

“Apa…uang yang mereka berikan sangat banyak sampai kau berani mengambil tindakan ini?” tanyaku penasaran. Aku melihat Ayumi kembali tertawa kecil.

“Bisa dibilang begitu.”

“Sebesar apa?”

Ayumi menatapku sesaat sebelum kembali bicara, “Setara dengan harga sebuah rumah sederhana.”

“Sebesar itu?” aku membelalakan mata. Ayumi mengangguk kecil.

Pantas saja mereka berani menjualku.

 Dengan harga sebesar itu ayah dapat memulai usaha ternak kembali, ibu kembali membuka usaha tanaman herbal seperti dulu, mereka dapat makan dengan layak dan Hiro dapat tumbuh dengan gizi cukup…..dan mereka membayar semua itu dengan aku.

Dan juga, semakin besar kami dihargai, semakin besar yang harus kami tanggung nanti. Aku hanya tersenyum sinis membayangkannya.

“Kau takut mati, Ayumi?” Tiba-tiba saja pertanyaan itu muncul di kepalaku.

“Aku tidak pernah memikirkannya.” Ayumi mengerutkan dahi dengan ekspresi nanar. “ Kenapa kau bertanya begitu?”

“Karena apa yang akan kita alami nanti, akan jauh lebih menyakitkan dari kematian.”

***

HANABITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang