Chapter 8: Chain of Destiny

14.4K 885 61
                                    

[AN: heyy akhirnya gue nepatin janji buat update hehe...bahkan lebih awal sehari kan? wakakak. Btw my special thanks buat voment kalian yang nyemangatin gue banget hehe. Serius gue seneng banget klo dpet review dn masukan readers rasanya tuh kaya dikasih tester makanan gratis. Thanks buat ksabaran kalian nunggu yaahhh chapter ini gue bikin mayan panjang. Dedikasi buat kalian semua pembaca setia Hanabi! Slamat membaca!!]

 .....................................................................

Standing

Where we still up in hope

Consuming and deliberating

Just like endless dreams

Come straight to nighmares

 

***

"Dia benar-benar pergi tanpa jejak?"

"Ya, Tuanku. Kami sudah memeriksa semua bagian istana, kamar, lorong dan tidak menemukan apa-apa. Tampaknya beliau benar-benar kabur. Dan terlebih lagi, dia membawa kabur benda itu bersamanya."

Geraman kasar memenuhi seluruh ruangan.

"Dia tahu rencanaku... Dasar anak tidak tahu diuntung itu..."

"Tapi Tuanku, Hamba tidak tahu harus melaporkan hal ini atau tidak. Seorang pelayan kerajaan juga menghilang tanpa jejak di hari yang sama."

"Sudah pasti mereka bersekongkol... Anak itu merencanakan ini semua dengan matang. Pergi! Lanjutkan pencarian di sekitar Edo mengenai dua orang yang hilang dari kerajaan itu dan bawa mereka kembali dalam keadaan hidup!"

"Baik Tuanku, kalau begitu Hamba permisi."

"Satu lagi."

"Ya, Tuanku?"

"Pastikan kau membawa benda itu dalam keadaan utuh. Atau aku tidak segan-segan memenggal kepalamu. Mengerti?"

"M-mengerti, Tuanku."

***

Aku yakin wajahku terlihat sangat dungu ketika aku membelalakan mata dan mengerjap tak percaya dengan mulut sedikit terbuka.

"Menikah?" entah bagaimana kata-kata itu terasa janggal di mulutku untuk diucapkan. Lidahku seakan mengecap permukaan benda yang aneh dan asing. Dan sekali lagi, aku tidak dapat berhenti bertanya-tanya bagaimana pemuda ini sangat dipenuhi kejutan yang mau tidak mau memaksa otakku bekerja dua kali lipat dari biasanya.

Daichi terbatuk beberapa kali, namun kali ini tidak mengeluarkan darah. Tangannya yang sedikit pucat memijat pangkal tenggorokannya perlahan. Pasti rasanya sangat perih karena ia sempat meringis ketika melakukannya.

 "Ya. Kita. Menikah." Caranya berbicara dengan nada monoton membuat situasi tidak semakin membaik.

"Dan kau pikir aku akan menyetujuinya?" tantangku, menatap matanya penuh perhitungan. "Kau bahkan tidak memberikan alasan bagiku untuk melakukan itu. Kita bahkan baru saling bertemu. Atas dasar apa kau memilihku? Bukan cinta pandangan pertama 'kan?" ucapku dengan nada bicara yang lebih terdengar seperti hinaan dibandingkan pertanyaan.

"Jangan konyol." Dia mendengus, terlihat jijik sembari menahan batuk dengan kerutan samar di dahi ketika mendengarku mengucapkan 'cinta pandangan pertama'.

 Keringat dingin membanjiri dahi Daichi, namun layaknya seorang samurai kelas atas dia tetap berusaha terlihat tegar. "Kesimpulannya, menikah akan membuat orang-orang memandangku dengan lebih terhormat. Menikah berarti dapat berkomitmen dan melindungi keluarga."

HANABITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang