Seandainya

2 1 0
                                    

Mereka pernah bilang :

"Seandainya mata kananmu normal, kamu bisa lho daftar polwan. Kan Ayah jadi ada penerusnya."

"Seandainya kamu lolos CPNS kan gak akan susah-susah kerja ngoyo begini."

"Seandainya kamu mau nyoba jadi guru atau dosen, mungkin hidupmu bisa lebih enak."

"Seandainya kamu ngga keburu sekolah S2, pasti banyak laki-laki yang mau deketin kamu. Sekolah terus sih, kan jadi minder lelakinya."

"Seandainya Mama kamu masih hidup, pasti seneng liat kamu lulus kuliah."

"Seandainya kamu bisa lebih terbuka sama orang, perihal jodohmu bisa lebih mudah."

"Seandainya kamu bisa lebih nurut, mau nyoba berdamai sama sekitar, kamu ngga akan sekeras ini."

Dan berlanjut pada seandainya yang lain. Tidak bisa berkata apapun sih. Cuma bisa ngelus dada. Oh! Sama mbatin, tentu saja.

Mereka berucap seandainya begitu seolah aku hidup saja sudah salah. Padahal, yang mereka ucap itu hanya fakta-fakta yang sudah terlewat.

Mata kananku memang bermasalah. Sarafnya tidak normal. Tapi kan ngga perlu disebutin depan mukaku juga. Aku tau kok. Mereka saja yang ngga tau. Selama bertahun-tahun aku berjuang sendirian menerima kondisiku yang begini. Dokter mata bisa saja kasih vonis aku ngga disaranin motoran sendiri. Tapi nyatanya, aku justru perlu bisa motoran sendiri. Meski harus sering jatuh dari motor. Gapapa. Setidaknya aku ngga ngerepotin orang lain. Ayahku bisa kerja, ngga perlu repot anter-anter aku. Kondisinya emang beda sama mata minus biasa. They never know I cried every single night cursing myself because of this. They, including my parents, didn't know. Not even once they asked how the days I've been through at school. Dikatain temen sekelas kalo karena kondisi macem ini lama-lama aku bakal buta. Gabisa lihat lagi. Gabisa sekolah lagi. Damn girls with their dirty mouth. Untuk aku yang bahkan 10 tahun aja belom, dikatain begitu tuh beneran menohok. Sejak itu, aku pikir ngga akan mau temenan sama cewek. Mulutnya jahat sih.

"Seandainya mata kananku normal. Aku mungkin akan ikutan jadi anak yang doyan nyontek. Tak apa jika orang tuaku belum menerima, aku menerima diriku. Kamu hebat. Ngga harus nyontek, kamu bisa dapet nilai yang sama. Gapapa ga ada yang tau. Gapapa. Kamu mau jadi orang jujur kan?"

Kemudian, perihal profesi. Ayahku memang seorang polisi dan Mama seorang guru. Banyak orang menyayangkan ketika aku ngga mau menekuni salah satu dari keduanya. Belum apa-apa, bilangnya kasian orang tuaku ngga ada yang jadi penerusnya. Lagi, aku menghela napas panjang. Aku salah lagi. Kupikir bukankan aku pantas dihargai karena di saat teman-temanku bingung dan asal ambil prodi untuk kuliah, aku tau apa yang aku mau. Aku punya alasannya. Eh ternyata aku hanya salah lagi. Baiklah, aku selalu salah.

"Seandainya mereka lebih bisa menerimaku, mungkin aku ngga akan jadi pemberontak begini. Umpama dukungan itu nyata, aku mungkin akan lebih bahagia."

Pendidikan strata satu berjalan normal, 4 tahun lamanya. Karena sejak sekolah menengah aku sudah ditugaskan untuk "sekolah saja yang bener" jadi ya aku taunya belajar saja. Hiburanku? Belajar. Mau aku bertanya bagaimana aku bisa bantu jagain Mama atau hanya bantu masak di dapur, selalu ditolak dan disuruh belajar saja. Lalu, ketika aku mulai lelah menawarkan diri dan memilih tekun belajar malah meminta atensiku. Ah, manusia kenapa rumit sekali? Pikirku, lulus S1 aku mau bertualang mencari jenis pekerjaan yang cocok denganku. Teman-temanku lebih dulu mendapat pekerjaan. Aku sendirian, pengangguran lagi. Kesepian, tentu saja. Tapi siapa yang mau peduli?

"Seandainya aku bisa seberuntung kawan-kawanku.. Seandainya ada penyemangat untukku, daripada pertanyaan kapan aku akan bekerja. Andai mereka lebih bisa mengerti..."

Akhirnya pekerjaan pertama mampir. Senang, pasti. Pekerjaan pertama yang aku dapat dengan usahaku sendiri. Walau gajinya ngga tinggi, tapi untuk lulusan sarjana yang kelamaan nganggur, bisa punya gaji bulanan itu berkah! Akhirnya aku ngga harus nerima uang saku, pikirku. But no. Masih dapat. Kalau boleh jujur, saat itu sedih rasanya. Marah sama diri sendiri. Salahku di mana sampai diperlakukan begini? Ngga boleh kah aku belajar mengatur keuanganku sendiri? Tapi ya tentu saja, amarah itu hanya bisa aku rasa sendirian. Karena aku bukan kawan-kawanku yang bisa bebas berkeluh kesah ke ayah atau ibu mereka. Aku merasa sendirian. Mama sudah pergi, Ayah sibuk bekerja.

"Seandainya beliau tau, aku bahagia. Meskipun kecil, tapi ini hasil dariku sendiri lho. Aku ngajar! Ngajarin anak orang. Mungkin ngga sebanding sama gaji pertama Ayah atau Mama, tapi hey aku gajian!!! Akhirnya aku bisa punya uang sendiri. Tapi aku sedih lho bahagiaku ngga dianggep. Sampai kapan mau begini? Aku mulai lelah. "

Punya orang tua tunggal itu berat. Menjadi anak tunggal pun berat. Banyak yang mengira, enak kali hidupku. Mau ini itu diturutin. Hah.. Mereka ngga tau, buat dapetin itu aku harus belajar dulu. Setor nilai 9 dulu. Atau ngga, ranking 3 besar dulu. Mamaku emang kalem, lembut. Tapi ngga selembut mama mama di ftv yang kalo anaknya sedih dipelukin. Mimpi kejauhan! Ayahku sibuk dengan kerja shift : pagi, malem, lepas piket. Gitu aja mulu. Bahkan setelah Mama ngga ada, kesepian makin menjadi. Lebaran idul fitri yang dulunya bikin aku semangat karena banyak saudara ke rumah buat keliling bareng, tetiba sibuk dengan keluarga kecilnya sendiri. Sejak itu, aku mulai mencari a bite of happiness. Sholat eid sama keluarga sahabatku. Ngga tiap tahun aku bisa berangkat sama Ayah. Ada kalanya kena bagian jaga sholat eid sih.

"Seandainya Ayah bukan polisi, cuma pegawai kantor biasa, mungkin tiap tahun bisa sholat eid bareng. Ini mau sholat eid bareng aja rebutan sama orang sekota. Ngga adil."

Bahkan sampai ke usiaku yang sudah 28 tahun. Seandainya aku ngga keburu S2, pasti aku sudah bisa menikah. Astaga. Ingin rasanya merobek mulut orang yang berkata begitu. Aku ngga pernah mikir mau lanjut S2. Rencana hidup ya pasti ada. Aku mau kerja sesuai passion, menekuninya 3 tahun, lalu melanjutkan S2 untuk menunjang karirku. Itu rencanaku. Rencana Ayahku beda lagi. Entah apa yang ada di benak beliau, tapi yang kuterima seolah "Udah lanjutin S2 aja, mumpung uangnya masih ada." Padahal dunia sudah sangat sangat sangat berubah. Di dunia kerja tahun 2014, ngga ada perusahaan yang rela ngajarin orang dari nol. Mereka maunya yang sudah berpengalaman. Merasa kurang perihal pengalaman, aku berniat mencari sebanyak yang aku bisa. Tapi yaa nyatanya rencanaku ngga ada apa-apanya di mata orang tuaku sendiri. Aku masih anak ingusan yang jalan aja kudu digandeng. Gaboleh jalan sendiri. Lagi, aku ingin marah sejadi-jadinya. Namun percuma. Ngomong baik-baik aja belum tentu berhasil, gimana mau pakai emosi.

"Seandainya kami bisa bicara lebih lembut, bicara dari hati ke hati, mungkin ngga ada memaksa-dipaksa. Mungkin sekolahnya bisa jauh lebih ikhlas."

Banyak kisah orang sukses yang ngga tamat sekolah. Tau ngga, aku sering ingin melakukan hal yang sama. Putus aja sekolahnya, toh dari awal aku ngga minat. Tapi dasar anak baik di diriku lebih dominan. Aku berusaha sekuat yang aku bisa untuk menyelesaikan. Ngga peduli dibantu atau ngga. Aku sudah ngga peduli. Yang penting lulus dan kerja. Kali ini aku ngga mau kompromi. Aku mau kerja sesuai apa yang aku inginkan. Ngga terima penolakan. Ngga peduli.

"Seandainya aku ngga pernah dipaksa jadi anak penurut, mungkin aku bisa lebih ramah bernegosiasi. Pemaksaan atas nama 'sebagai orang tua, kami tau yang terbaik buat kamu' itu sangat memuakkan lho. Jaman sudah sepuluh tahun lebih sejak tahun 2000 dan anggapan itu masih diyakini? Oh ayolaaah.. Ayo belajar soal hidup lagiii. Dunia tempatku bertarung ngga sama seperti tahun-tahun njenengan. Ngga bisakah beri aku kepercayaan untuk menjalani hidupku sendiri? Aku lelah jadi boneka. Terikat itu sakit, aku ngga suka."

Mereka bisa melontarkan seandainya versi mereka, kenapa aku ngga? Bisa kok. Nih.

Menyakiti hati atau ngga, aku sudah ngga peduli. Ketika aku sakit hati, mereka selalu menganggapnya enteng. Anggap saja ini konsekuensi sikap memandang rendah aku. Ngga masalah dibilang nakal dan semacamnya. Kan mereka ngga tau, bahkan ngga mau tau, betapa sulit hidupku dengan omong kosong macam itu.

Karena aku tak lagi bisa membicarakannya dari hati ke hati dengan orang-orang yang bersangkutan, kutulis di sini saja. Ngga ada yang baca juga ngga masalah. Aku bisa membaca catatan amarah ini ketika aku sudah sukses nanti(?)

Semoga 😊

SeumpamaWhere stories live. Discover now