Enggan

1 0 0
                                    

Tiga belas tahun.

Bukan waktu yang singkat. Namun nyatanya, hidup berjalan seolah ngga ada kemajuan apa-apa. Aku tetap dengan sekolah dan pekerjaanku, Ayah tetap dengan pekerjaan serta kegiatannya. Seolah kami enggan mengusik satu sama lain.

Selepas lulus S2, aku bekerja di perusahaan konsultan. Tahun pertama berjalan penuh liku. Air mata pertama setelah sekian lama kembali menetes. Lagi, rencana hidupku diubah tanpa aku menyetujuinya. Kali ini bukan oleh Ayahku. Namun rasanya tetap saja sama. Kecewa.

"Kenapa aku?"
Pertanyaan itu terus mampir selama kurang lebih delapan bulan. Saat itu, aku sudah cukup lelah berada di posisi lahan basah. Aku yang benci matematika, setiap hari berkutat dengan pemasukan-pengeluaran. Ajaib sekali. Ups, magic!

Sejak itu, kelihaian mulut ini mengumpat makin tajam terasah. Menuju tahun kedua, aku memberanikan diri untuk bernegosiasi. Akhirnya setelah sekian lama hidup jadi manusia, ada juga yang mau mempertimbangkan pendapatku. Memulai posisi baru yang merupakan minatku sungguh menyenangkan. Kukira aku ngga akan bisa bekerja sesenang ini.

Namun nyatanya dinamika kerja selalu ada positif negatifnya. Ketika bahkan vibrasi negatif itu sudah dominan, individu di dalamnya ya keracunan. Beruntung, katanya secara psikologis meski sedang jatuh tapi semangatku untuk bangkit masih ada saat itu. Tanpa drama apapun, aku pamit undur diri dari posisi tersebut.

Sejujurnya, jika ditanya apakah aku bahagia saat ini? Jawabannya ya dan tidak. Ya, aku bahagia menemukan rekan kerja yang baik lagi. Dan... Tidak, karena bidang ini membutuhkan kerja lebih keras untuk kutekuni. Dengan waktu yang cukup singkat, rasanya kayak dikejar anjing!

Karakteristik mayoritas perusahaan yang kurang bisa membimbing karyawan baru sejatinya membuatku enggan. Antara yakin ngga yakin mau kerja kantoran lagi. Tapi belajar dari masa lalu, menurut orang tua tunggalku, kerja kantoran masih lebih baik dibandingkan punya bisnis sendiri.

Setengah hati? Bisa dibilang begitu.

Komentar ngga enak juga sering mampir. Menuntut kok aku kerja terus, ngga pernah berkunjung ke sanak saudara. Lah? Ngaca dulu dah. Ada kalian ke rumahku duluan? Itu juga kalo ngga ada urusan "kebutuhan" ya. Lalu main nuntut aku seenaknya, situ sehat?

Jika dibaca dari part satu pun, tulisan ini isinya sarkasme dan sambatan tak terucap. Wajar kalo isinya negatif sekali. Jangan berharap banyak.

Selama tiga belas tahun berjalan, aku lebih dekat dengan teman dibandingkan keluarga. Ngga heran. Bahkan keluarga temanku lebih bisa menghargai pencapaianku daripada keluargaku sendiri.

Kemudian aku menjadi enggan untuk pulang ke rumahku sendiri. Hey, jangan pikir aku bakal main nginep sana-sini. Ngga gitu.

Pulang, buatku lebih dari sekadar kembali ke rumah di mana Ayah dan aku tinggal.

Pulang adalah sebuah rasa tenang nan hangat yang merengkuhku selepas berusaha tetap bertahan setiap harinya.

Jika itu definisinya, maka bisa dibilang sudah tujuh belas tahun aku tidak merasakan pulang.

Sudah selama itu hatiku dingin dan akhirnya beku. Lalu sekarang, mereka malah berusaha memukulnya hingga hancur alih-alih memberikan panas untuk melelehkan bekunya.

Akhirnya, aku enggan mendekat.

Orang-orang asing di luar sana sudah cukup menyakitiku, aku tidak butuh disakiti lagi di rumah.

Keluargaku ngga pernah tau dan ngga mau tau juga, bahwa membentak itu bukan lagi cara efektif dalam mengajari anak. Rule of fear is useless. Setidaknya untukku. Semakin keras bentakannya ya semakin besar dendam di hatiku. Menumpuk entah kapan akan meledak.

Enggan untukku berbicara. Karena toh aku hanya dianggap anak ingusan, tau apa aku soal kerasnya hidup. Kan bagi mereka hidupku enak-enak aja. Iri sajalah sesukamu. Kamu mau? Yuk, sini tukar denganku.

Kehilangan Mama membuatku enggan percaya sama keluarga. Mereka sibuk sendiri. Sibuk meratapi kehilangan. Mereka juga pasti ngga sadar aku menangis bersandar di lemari.

Yang mereka tau, aku cuma barusan sembuh dari tifus. Bahwa aku perlu libur seminggu lagi karena Mama pergi. Ngga tau aja itu menyiksa.

Teman-teman datang ke rumah dan memelukku. Walau kata-katanya sama saja, setidaknya aku dapat pelukan. Aku dapat validasi atas rasa sedihku. Bahwa aku layak merasa lemah ngga berdaya karena kehilangan Mamaku. Yang bahkan, keluargaku ngga memberiku itu.

Oh! Soal sekolah. Saat Mama pergi, aku kelas satu SMA. Bukan sekolah yang sesuai seleraku sih, tapi karena keadaan ekonomi saat itu ya terpaksa aku mengalah. Sekolah di SMA negeri kukira ngga buruk. Heh! Salah.

Kakak kelasku kayak binatang. Dengan dalih komite disiplin, seenaknya dia buka dompet dan menghamburkan uangku ke mukaku. Ya Tuhan, di mana otaknya kakak ini? Memangnya kenapa kalo aku bawa uang ratusan ribu? Di peraturan ngga tertulis ga boleh bawa uang segitu. Kan bangsat.

Untuk kesekian kali, aku kecewa sama orang tuaku. Bukannya aku ngga mau prihatin sama kondisi keluarga, tapi aku bahkan ngga boleh milih sekolah swasta lain yg jauh lebih murah. Begitu masuk negeri, hmm tuh isinya manusia ngga ada adab.

Kakak kelas macam apa yang nyuruh adik kelasnya nyembah dia? Apapun tujuannya, itu ngga bisa dibilang benar. Orientasi harusnya bisa jadi masa di mana kami sebagai siswa baru mengenal sekolah kami. Sekolah di mana kami menimba ilmu tiga tahun lamanya. Baiknya sekolah ini kek, fasilitasnya, tur keliling sekolah, lebih ada manfaatnya daripada dibentak-bentak suruh nyembah kakak kelasnya. Yek, kakak berhala? Pake segala minta disembah.

Setumpuk rasa enggan akhirnya numpuk juga selama tiga tahun di SMA. Bangga sama almamater? Ngga lah, ngapain. Terlepas dari kakak kelas yang kayak gitu, semuanya sama aja kayak sekolah lain. Minus ngga ada dukungan buat muridnya kalo ikut lomba.

Yup, rasa enggan yang entah sudah berapa banyak. Ikut lomba mading yang cukup terkenal di kotaku, tapi sekolah ngga peduli. Yang didukung dan dipedulikan ya lomba karya ilmiah, atau ngga lomba yang diikuti ekskul.

Bisa dibilang, ikut ekskul paskibra itu karena aku asal aja. Cuma milih yang sekiranya aku bisa jalani. Ikut KIR ngga mungkin hahaha ngga sepinter itulah otakku. Ikut bela diri, ngga dikasi ijin. Apalagi alasannya kalo bukan karena mata kananku.

Cuma paskibra yang diijinin. Mungkin jadi semacam pelampiasan pengganti fakta kalo aku ngga akan bisa jadi polwan. Semua atribut paskib dibeliin, alih-alih pinjem. Yaudahlah. Walau aku sebenernya angot-angotan soalnya di paskib ada kakak kelas yang waktu itu aku benci. Yes, kakak yang lemparin uang ke mukaku.

Enggan kenal namanya
Enggan inget wajahnya
Enggan deket-deket orangnya

Berlebihan? Ngga peduli. Karena bagiku, siapapun dia ngga selayaknya melakukan itu di acara orientasi siswa. Memangnya tiga tahun sekolah bawa uang segitu bakal jadi masalah?

Oho iyaa, benar. Aku pendendam ulung. Jangan kira aku mau nyapa setelah kelakuan lebaynya. Disiplin apa kalo dia sebagai kakak kelas gabisa disiplin sama mulutnya.

Woah panjang ya cerita SMA ku.

Kok ngga ada yang bagus? Ada lah. Guru-guruku baik kok. Aku justru lebih nyaman sama guru sekolahku daripada di rumah. Setidaknya ngga marah kalo aku nanya "kenapa?" hehehe

Beda sama guru-guru SMP yang cenderung sama aja kayak di rumah, guru-guru di SMA ini lebih menarik minatku. Aku bisa tanya sepuas yang aku mau. Beliau akan berusaha jawab.

Walaupun secara akademik menurun drastis. Sejak Mama pergi, aku sudah ngga pernah peduli sama nilai dan ranking. Yang penting aku paham materinya ya sudah. Cukup.

Buat apa ngoyo ngejar ranking. Dengan ranking 1 pun Mama ngga kembali. Jadi yaa percuma sengoyo itu. Apakah ada yang peduli? Tentu saja ngga.

Masa SMA ku berjalan sedatar itu memang. Eh ngga datar juga sih. Sempet ribut banget di awal. Aku ngambek minta pindah ke swasta. Walau akhirnya kudu berangkat daftar ulang ke SMA negeri itu karena udah ga mungkin cari sekolah lagi. Enggan, tapi harus tetap jalan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 25, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SeumpamaWhere stories live. Discover now