A&S | Satu Petunjuk

38 4 3
                                    

A5s4lammu'4lA!kum!

hayo ngaku siapa yang dulu kalau sms suka begitu?

.
.
.

Sirsina tak jemu memandangi Kumara dari belakang, dengan ribuan tanya di kepala. Laki-laki itu menunggang kudanya dengan nyaman sambil membawa peta dan sebuah buku yang terbuka. Sekilas tak ada satu pun hal yang aneh. Akan tetapi, sejak perkataan Kumara pada Sirsina yang gadis itu yakini sebagai sebuah kejahatan terencana, jadi membuat Sirsina terus mencari-cari.

"Kau benar-benar tidak mengendus bau kelicikan darinya sedikit pun, Nila?" bisiknya dengan pelan.

Alnilam, yang dari tadi hanya terkagum-kagum mengitarkan pandang ke seluruh ladang yang mereka lalui, sedikit tersentak. Kumba yang dari tadi anteng-anteng saja di pundak, terbang secara tiba-tiba. "Kau bilang apa barusan?"

"Kau tidak curiga pada Kumara?"

"Oh. Tidak ... Apanya yang mencurigakan?"

Sirsina sedikit mendengkus. Pandangannya yang selalu tajam itu makin memicing. "Dia bilang ingin mempelajarimu. Kau bahkan tidak curiga kalau itu hanya kata lain dari me-man-fa-at-kan?" Sirsina membuka kedua telapak tangannya ke arah Alnilam. Kemudian mereka adu mulut dengan saling mendahului satu sama lain.

"Apa kau sedang dalam masa keperempuananmu?"

"Dari awal aku tidak percaya perjalanan ini sama sekali."

"Kau hanya terlalu sensitif."

"Aku yakin insting wanitaku bekerja lebih baik."

"Kurasa intuisi adalah kata yang lebih tepat."

"Oh, dimanakah kita sekarang!?" Sirsina berteriak. Ia mulai muak dengan ladang perkebunan yang tak ia ketahui milik siapa itu. Gadis itu tampak seperti, Kenapa sangat panjang, sampai aku ingin mati saja!?

"Kita berada di tepi timur Uzra." Kumara menjawabnya begitu saja tanpa kelihatan kalau tadi ia mendengar apa yang Alnilam dan Sirsina pertengkarkan. Karena lebih tepatnya, ia tak peduli.

"Sebentar lagi kita tiba di Lembah Nior. Di sana ada desa. Kita bisa beristirahat sejenak. Hanya saja ... kalian harus lebih bersopan santun karena penduduknya tidak begitu ramah," lanjutnya tanpa sedikit pun menoleh.

"Uzra? Kerajaan Uzra?"

"Bukan. Uzra pernah kita bahas di kelas, tapi mungkin kau tidur, Pangeran. Uzra bukan sebuah kerajaan. Hanya wilayah yang luasnya tidak lebih besar dari Belantik. Dulu dipimpin tuan tanah yang kemudian menjual tanahnya karena dibutakan uang. Kekayaannya habis, dan dia mengabdikan diri menjadi pemimpin Desa Nior. Dia jadi bijaksana sekarang, kau tahu?"

Sirsina menaikkan satu alis. "Kenapa dia seperti tahu banyak hal?"

"Sudah kubilang, 'kan? Dia bisa diandalkan." Alnilam tersenyum congkak.

"Tetap saja ...," Sirsina mengerutkan kening. "Dari mana dia berasal?"

"Dari negeri para cendekiawan, tentu saja. Kintanu."

Sirsina sedikit tercenung. "Petanya? Bagaimana dia mendapatkannya? Bagaimana dia tahu tentang Rimba Raya Timur?"

"Kau mungkin bisa bertanya padanya langsung, karena ingatanku sangat buruk."

"Memangnya apa yang tidak buruk dalam dirimu, ha?" sarkas Sirsina dengan sinis. Namun, Alnilam hanya diam. Pemuda itu justru bersiul di sepanjang sisa jalan yang diantarai ladang tersebut.

Matahari hampir di atas kepala tatkala mereka tiba di desa yang Kumara bilang sebagai Desa Nior. Terletak di lembah antara petak-petak ladang wilayah Uzra yang menjorok ke Garungga dan Perbukitan Suari. Desa kecil tersebut sepertinya jarang terjamah oleh pengelana atau orang asing lain. Tampak miskin dan belum maju sama sekali. Mungkin karena berada di tepi Uzra dan jauh dari perkotaannya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 24, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ALNILAM & SIRSINAWhere stories live. Discover now