A&S | Siapa Kumara Sebenarnya?

41 9 7
                                    

Mau kasih catetan lagi di awal.

Kalian boleh skip note ini daripada capek duluan sblm baca hihihi.

Sori buat kalian yg mungkin nunggu cerita ini. Minggu kemarin aku susah bgt nulis bab ini, bahkan sampai hari H, dan aku jg lagi ngelarin ceritaku yg lain. Maaf kalo gak bisa memprioritaskan cerita ini, wahai diriku :'( Jadi hari ini aku up 2 bab sekaligooos!

Cerita ini sebenarnya belum mateng banget. Enggak kayak ceritaku yg lain, cerita ini perlu kubaca berkali-kali biar sesuai harapanku. Aku gak tau apa karna ini fantasy pertamaku yg ngangkat soal jaman dahulu atau apa, cerita ini sulit bgt ditulis. Aku jadi merasa kurang total bikinnya (walaupun gak pernah ada ceritaku yg totalitas wahahah). Tapi, cerita ini harus menyentuh ending, semales apapun diriku menyelesaikannya.

Sori kalau lagi lagi aku mesti bilang, silakan baca kembali chapter sebelumnya supaya kalian yg baca cerita ini bisa paham bagaimana alur sebenernya karena aku rasa ceritaku ini paling kacau di antara cerita anak Fantascroller yg lain. Oh iya, ada beberapa yg kurevisi di chapter sebelumnya. Sengaja revisi awal-awal, biar alurnya lebih enak dan entar di akhir aku gak perlu revisi lebih banyak lagi wkwk.

Udah deh panjang bgt ini.

Oke ini dia ...

.
.
.

Sebuah sabana luas yang seolah tak berbatas terhampar di tempat Alnilam terbaring saat ini. Hanya ada ilalang yang cukup tinggi di sekitarnya, membeku, seakan tak ada angin yang berembus. Pemuda itu bangkit dari posisinya telentang menghadap langit. Menoleh ke kanan dan kiri dengan heran.

Tempat apalagi ini?

Sabana itu seperti sebuah lautan kehampaan. Sunyi dari kehidupan. Langit begitu putih dan cerah ditutupi awan yang kelihatan tak berpindah sama sekali. Dan ya, seperti tak ada udara pula, tapi ia masih dapat bernapas tanpa sesak kekurangan oksigen.

Segalanya seperti mati.

Alnilam berdiri. Ia dikejutkan dengan dua capung yang mengambang di udara. Tak ada pergerakan sama sekali. Ia menyentuh sayap-sayapnya dengan lembut, sebelum akhirnya melangkah lebih jauh. Demi mengetahui di mana ujung sabana tersebut berada.

Terus saja ia sisir ilalang yang kehilangan nyawa itu. Sampai didapatinya bercak-bercak kemerahan dan menghitam pada beberapa batang dan bunganya yang serupa bulu-bulu putih memanjang.

Darah?

Rasa ingin tahunya mulai muncul. Pemuda itu pun melangkah menuju sumber darah itu berasal, melewati jejak-jejak yang ada. Hingga ceceran darah itu membawanya pada sesuatu yang mengenaskan.

Namun, untuk pertama kalinya, Alnilam hanya memandangi hal itu dengan tatapan nyalang tanpa rasa iba sedikit pun. Seekor serigala putih terkapar di depannya. Matanya terbuka, tanpa napas, dan ada belati menancap di lehernya hingga ia bersimbah darah. Tiga kata yang mewakili keadaan serigala itu; tinggal raga semata.

Ia hendak berjongkok ketika dua ekor capung yang tadi ia lihat, kini beterbangan di atas mayat serigala. Alnilam tak menghiraukannya. Tak peduli pada sebuah tanda yang mereka beri. Ia hanya ingin tahu, apakah itu serigala yang selama ini menghantuinya atau bukan.

Alnilam meraba bulu lembut serigala tersebut. Lalu, saat itu juga awan-awan berarak. Angin kembali terasa menyentuh kulit dan embusnya dapat terdengar. Rumput-rumput bergoyang.

Dan serigala itu, tanpa diduga, masih bernapas dan melompat dengan agresif. Menubruk Alnilam dengan ganas.

***

Tubuhnya seperti baru saja terjatuh dari tebing yang tinggi dalam mimpi. Terperanjat kaget.

Alnilam mendapati dirinya masih duduk di meja tulisnya di dalam kamarnya sendiri. Yang kini sudah terang dicahayai oleh mentari pagi. Obor yang menjaga pencahayaan tempatnya menulis sudah mulai redup, minyaknya pasti hampir mengering diserap api.

ALNILAM & SIRSINAWhere stories live. Discover now