A&S | Rencana Berbahaya

69 11 8
                                    

Mau kasih note di sini aja deh

Sebelum baca chapter yg ini, mending kalian baca chapter sebelumnya deh. Soalnya minggu kemarin aku ngetiknya buru-buru banget dan itu malem sambil merem melek. Alhasil jadinya ngawur bgt. Jadi baca dulu ya chapter sebelumnya yg udah kurevisi, soalnya bedanya kentara banget, dan kalian bisa sedikit menebak-nebak siapa kiranya pengkhianat siapa teman Alnilam di sini. Aukay?

.
.
.

Berkali-kali Alnilam harus mengatakan maaf pada orang-orang yang berpapasan dengannya. Meninggalkan kasak-kusuk, soal bagaimana bisa anak seperti Alnilam hendak diangkat menjadi raja di negeri ini. Yang ada negeri ini akan kacau balau seperti perangainya, kata mereka. Sepertinya penobatan raja kepada Alnilam akan menuai banyak kecaman, nantinya.

Akan tetapi Alnilam tidak peduli. Siapa juga yang mau jadi raja? Lebih baik aku menggelandang di Hutan Garungga.

Alnilam buru-buru sekali ke perpustakaan pagi ini. Padahal hari ini tidak ada kelas Kumara untuknya. Ia harus mencari tahu soal tanaman obat yang dibicarakan tabib kerajaan tadi malam. Sebelum ia dibawa menuju hulu Sungai Luksia, untuk mengadakan sebuah ritual yang biasa dilakukan seorang calon raja.

"Pagi, Nyonya Kutu Buku."

Alnilam tersenyum tengil di seberang meja pelayanan, di mana seorang perempuan separuh abad duduk di sana. Rambut wanita itu digelung. Kaca pembesar berbingkai dengan dua buah kaca kristal dipegangnya tepat di depan kedua mata. Tampak sangat berkonsentrasi, sampai kemudian kedatangan Alnilam mengusik kegiatan membacanya.

"Pagi juga, Pangeran Nila." Senyumnya seperti dibuat-buat. Tindakan konyol Alnilam yang kerap kali mengganggunya pasti telah membuat wanita itu muak dengan wajah jailnya.

Akan tetapi, Alnilam enggan menyinggungnyabterlebih dahulu. Walau sebenarnya ia sangat ingin. Sayangnya ia datang kemari untuk hal yang lebih penting dari sekadar menggoda wanita tersebut. "Aku mencari kunci perpustakaan bagian kesehatan."

"Kuncinya baru saja dipinjam oleh Kumara, Pangeran." Wanita itu meletakkan kaca pembesarnya di atas buku yang terbuka.

"Benarkah?!" Keberadaan Kumara yang akan ditemuinya pagi ini seperti angin segar yang menyapu pikiran sempit Alnilam. Tidak seperti biasa di mana Alnilam harus berusaha menghindarinya. Pria itu mengetahui banyak hal yang kerap kali Alnilam lewatkan di kelasnya, dan Alnilam pasti bisa bertanya padanya.

Sebelum Alnilam balik badan, ia tersenyum ganjil pada wanita penjaga perpustakaan itu. "Ah ... kau tidak perlu pura-pura tersenyum menghormatiku seperti itu, Nyonya. Itu berat, aku tahu."

Wanita itu mendengkus sepeninggal Alnilam dari hadapannya dan kembali membuka buku.

Seorang pria dengan rambut cepak berdiri di atas tangga perpustakaan kesehatan. Memboyong buku-buku dari rak hingga menumpuk tinggi di atas kedua lengan. Tak takut jatuh ke lantai sama sekali.

Alnilam yang saat ini sedang menyandarkan bahu pada gawangan pintu dan mengusap-usap kancing bajunya, berdeham. Pria yang dikenalnya sebagai Kumara alias guru ilmu pengetahuan itu menoleh sebentar. Menampakkan wajah datar yang sungguh ingin sekali Alnilam bubuhi sedikit senyum di sana, andai saja ia bisa. Lalu beranjak turun dengan hati-hati.

"Pangeran Nila," sapanya seraya meletakkan setumpuk buku di meja baca samping jendela. Menarik sebuah kursi dan menyibak baju bagian belakangnya supaya tidak terduduki.

"Ketika ada kelas kau membolos, sementara ketika tidak, kau dengan rajinnya pagi-pagi mengunjungi perpustakaan. Ada apa?" tanyanya setelah duduk di kursi tersebut.

Alnilam tak pernah peduli dengan gelar 'pangeran' yang tertulis di dahinya. Jadi ia juga tak acuh kalau Kumara berbicara padanya tanpa sopan santun—membelakanginya seperti saat ini contohnya.

ALNILAM & SIRSINAWhere stories live. Discover now