A&S | Hutan Berbentuk Mawar

39 6 0
                                    

"Aah ...." Alnilam memejamkan mata dan menenggelamkan diri di dalam sebuah sungai yang masih menyatu dengan cabang Sungai Luksia. Setelah melarikan diri bersama Hamal sampai para prajurit kehilangan jejak, beristirahat sejenak dan mandi adalah pilihan tepat untuknya saat ini. Tubuhnya bau air buangan dan Alnilam sudah tidak tahan karena bercampur keringat.

Sirsina tadinya yang paling galak menolak mengabulkan rengekan Alnilam. Berkata bila bisa saja prajurit akan menemukan mereka dengan segera. Namun, yang ia lakukan sekarang justru duduk bersandar pada batang trembesi yang dipenuhi lumut. Masih dengan wajah berang. Dari awal pun gadis ini memang yang paling anti terhadap perjalanan ini. Sayangnya ia tak punya pilihan lain selain mengikuti. Sejujurnya, ia tak ingin pria yang saat ini tengah menata isi kantong lapik kudanya mencelakakan Alnilam.

Diam-diam, Sirsina mencuri pandang ke arah pria itu. Kumara kemudian berjalan mendekatinya sambil memalingkan wajah ke hutan seberang sungai. Ah, bahkan dari wajahnya, Kumara tampak sangat mencurigakan. Sirsina harus berhati-hati kalau tidak mau Kumara mengetahui maksud dirinya ikut rencana bodoh Alnilam ini.

Dialihkannya pandang ke sungai di depan tatkala Kumara melihat ke arahnya. Selintas, tatapan tajam Kumara seperti memberi peringatan bahwa Sirsina harus berhati-hati terhadapnya. Atau itu hanya perasaannya saja?

"Aku selalu berpikir Pangeran Alnilam ceroboh dalam segalanya. Tapi ternyata tidak untuk kebersihan." Kumara berkacak pinggang sebentar seraya memicingkan mata ke arah sungai. Suara ceburan terdengar seiring Alnilam mengayuhkan kedua tangannya di permukaan, diikuti seekor ikan yang cukup besar. Pria itu duduk beberapa jengkal di samping Sirsina.

"Saat dia kecil, dua pengasuh Alnilam terlalu kaku mengajarkan kerapian dan kebersihan pada dirinya." Sirsina mengatakannya tanpa menoleh ke arah Kumara.

"Ya, secara tidak langsung itu menimbulkan tekanan dan membekas sampai dia dewasa. Apa pun yang berlebihan tidak baik, bukan?"

Sirsina tak begitu menghiraukan perkataan Kumara. Ia mengambil busur panah yang ia letakkan di sampingnya, kemudian mengeluk-kelukkannya. "Kau sendiri? Alnilam bilang dia tidak tertarik padamu karena kau tidak ada lentur-lenturnya sama sekali."

Seketika itu juga, tawa berdeham Kumara yang khas keluar. "Apa aku perlu mengubah diriku hanya karena satu orang tidak menyukaiku?"

"Jadi hanya Alnilam yang berpikir demikian di antara muridmu yang lain?" Sirsina masih berkonsentrasi dengan busur panahnya. Merenggang-renggangkan tali busurnya.

Kumara memperhatikan Sirsina dengan heran. Tidak salah dirinya mengartikan tatapan Sirsina saat pertama bertemu dengannya itu sebagai isyarat ketidaksukaan. Bahkan cara bicara Sirsina yang menyiratkan penghakiman pun terdengar begitu nyata. "Pangeran Alnilam memang selalu menjadi yang paling berbeda. Kau tahu? Dia dijauhi teman sebayanya yang lain. Mereka mengecapnya si payah yang gila kebersihan. Pernah suatu hari pangeran marah—"

"Dan seketika perpustakaan kerajaan dikepung alap-alap? Aku sudah mendengarnya."

"Ya, itu benar benar seperti wabah yang datang dengan tiba-tiba. Dia semakin dijauhi. Lebih dianggap sebagai pembawa sial daripada manusia yang bisa bicara dan memanggil binatang dengan keistimewaan yang dimilikinya." Kumara sedikit bergidik ngeri saat bayangan beberapa tahun silam berputar di ingatannya. Sejenak membuatnya lupa kalau Sirsina merentangkan jarak begitu jauh terhadap dirinya. Namun, tak lama, bukan lagi kenapa gadis itu tak suka dirinya yang ada di dalam pikiran Kumara sekarang. Melainkan bagaimana Sirsina mengenal Alnilam, seberapa lama mereka bersahabat.

"Kau ... sepertinya telah mengenal Pangeran Alnilam begitu dalam hingga berani memanggilnya tanpa gelar."

Angin yang cukup besar menggoyangkan cabang pepohonan di seberang sungai. Diikuti gumpalan mega yang berarak di langit, menutupi matahari yang membuat lingkungan sekitar terbayangi awan. Sirsina tergoda dibuatnya. Ia mengambil sebuah ranting, untuk membidik salah satu cabang pohon yang meliuk-liuk itu. Menjeda sebentar obrolannya dengan Kumara dan menajamkan ranting kayu itu dengan pisau. Tanpa diketahuinya, Kumara sedang memandanginya dengan datar, tapi kepalanya penuh pertanyaan yang hendak ia ajukan sedikit demi sedikit supaya tak membuat Sirsina tersinggung.

ALNILAM & SIRSINAWhere stories live. Discover now