15. Salah Sasaran

8.5K 500 12
                                    

Hari ini hatiku sedang berbunga bahagia. Izin bekerja dari Mas Ferdi sudah dikantongi. Tinggal menghubungi Ria. Lalu aku akan mengutarakan niat pada gadis itu. Fix.

Siang ini aku akan pergi ke mall untuk membeli ponsel. Sudah hampir dua pekan aku hidup tanpa benda itu. Kehidupan rasanya sunyi sekali bak dalam hutan jika tanpa benda pintar itu.

Mendadak pikiran ini teringat Rudi. Apa kabar mantan Nella itu? Aku merasa berhutang budi padanya karena sudah mau menampung aku beberapa hari saat luntang-lantung kemarin.

Bahkan kata terima kasih pun belum sempat aku ucapan. Oke ... aku harus menemuinya untuk mengucapkan terima kasih. Tapi rasanya agak gimana kalau tiba-tiba menemui dia lagi.

Setelah berpikir cukup lama akhirnya
muncul ide di kepala. Aku akan membuat sesuatu untuk pria itu sebagai ungkapan terima kasih. Red velvet.

Ya ... semoga Rudi suka. Tidak lupa juga aku juga akan membuat mini red velvet untuk Abella dan Davin. Pasti mereka senang.

Dengan riang dan berbunga aku buat kue berwarna merah itu. Kebetulan semua bahan-bahan masih tersedia di dapur seperti telur, gula pasir, baking soda, tepung terigu, dan cokelat bubuk. Sehingga aku tidak perlu susah payah pergi ke toko untuk membelinya.

Langkah pertama adalah mengocok telur dan gula pasir hingga warnanya pucat. Kemudian memasukan tepung terigu, baking powder, cokelat bubuk, dan soda kue. Tanganku lincah memasukan butter milk pada adonan telur. Aduk terus sembari memasukkan air mocha dan campuran tepung secara bergantian sambil terus diaduk.

Berikan pewarna makanan alami dan vanili. Langkah selanjutnya tuangkan ke adonan ke loyang yang telah diolesi mentega. Baru masukan ke oven dengan suhu seratus delapan puluh derajat. Panggang selama empat puluh lima menit.

Napasku menghembus lega melihat hasil olahanku yang tampak cantik. Semuanya sudah beres. Saatnya mempersiapkan diri. Mandi dan berhias. Sengaja memakai baju pemberian Rudi dulu. Biar dia senang.

Jadi rencananya sehabis memberikan kue Red Velvet untuk Rudi aku mau menemui Ria. Tentu saja untuk menanyakan pekerjaan. Siapa tahu gadis itu bisa membantu.

Paras ini mulai kusapu dengan spon bedak. Agar tidak terlihat pucat bibir dan pipi kuberikan perona. Setelah merasa cukup manis dengan riasan tipis, aku menghampiri Leha.

Leha terlihat tengah sibuk menyetrika. Aku menyuruh gadis itu agar tidak lupa menjemput Davin dan Abella. Seperti biasa Leha mengiyakan perintahku dengan anggukan riang. Tentu saja hal itu membuat aku senang melihatnya.

Kemudian langkah ringan kuayun. Menuju taksi yang sudah menunggu di halaman. Lantas dengan semangat menyebut nama kafe tempat Rudi bekerja pada sang sopir.

Mungkin karena hati sedang bahagia sehingga perjalanan ke tempat tujuan terasa begitu cepat. Setelah membayar sejumlah uang, lekas kutuju kafe itu. Seperti biasa suasananya tampak begitu ramai. Banyak sekali pengunjung dan pelayan terlihat mondar-mandir melayani pelanggan.

Ketika tengah mencari tempat yang nyaman, aku berpapasan dengan Fino. Saat dia hendak menyapa, aku melengos. Sempat pemuda itu mengernyit sesaat.

Biar saja. Toh tujuanku datang ke mari bukan untuk menemui dia, tapi Rudi.

Mungkin merasa diabakan Fino berlalu begitu saja tanpa jadi menegur. Ah ... bodo amat! Toh tidak begitu kenal. Entah mengapa masih suka gemas sama pemuda itu. Padahal dia sudah pernah menolong.

Fino melangkah menuju sebuah meja kosong dekat kolam. Lalu mulai membuka komputer jinjingnya. Wajahnya tampak serius menatap layar datarnya.

Kembali aku dibuat heran saat melihat dua gadis pengunjung minta foto bareng pemuda itu. Sama saat dia menghadiri pemakaman Mami. Aneh! Memang siapa Fino? Apakah dia seorang selebritis?

Eh ... kenapa juga aku harus kepo pada pemuda slenge-an itu.

Selang beberapa waktu, pria yang dicari kelihatan batang hidungnya. Seperti biasa, Rudi terlihat begitu sibuk. Lelaki itu berbicara dengan pelayan untuk memberi intruksi. Wajahnya tampak serius. Rasanya tidak enak juga jika mengajaknya berbincang walau sebentar. Sebaik niat ngobrol dengannya kutunda saja.

Tapi, bagaimana dengan kue ini?

Sebuah ide melintas di benak. Gegas kambil secarik tisu, lalu menulis sebuah pesan.

[Red velvet ini sengaja kubuat sebagai ucapan terima kasih. Karena dulu sudah bersedia menampungku sehari semalam. Dan jika tidak keberatan, aku ingin mentraktirmu makan di food court Botani. Aku tunggu ya!]

Ttd Anggun Cahaya.

Pesan itu kumasukan ke kotak kue. Lantas segera mengawai seorang gadis pelayan.

"Tolong diberikan kue ini ke atasanmu, ya!" pintaku pada gadis itu. Pelayan itu mengangguk hormat. "Makasih," ucapku disertai seringai manis.

Langkah selanjutnya adalah mall. Aku ingin membeli sebuah ponsel dan juga beberapa pakaian untuk Leha. Agar gadis itu tambah semangat saat bekerja. Juga mampir ke salon. Sudah lama tidak memanjakan diri. Ingin dipijat dan perawatan biar wajah dan badan terasa fresh.

💖

Ahh ... benar-benar hari yang menyenangkan. Setelah merasa segar sehabis treatmen aku tinggal menuju food court untuk mengisi perut sembari menunggu Rudi. Kedai ramen adalah tempat yang kutuju. Karena sudah lama tidak menyantap makanan itu.

Untuk menanti kemunculan Rudi, aku memainkan ponsel yang baru dibeli. Kebetulan waktu makan siang. Kukirim pesan juga ke Ria. Biar dia datang ke mari.

"Sudah lama menunggunya?"

Sebuah suara terdengar dari belakang. Otomatis aku langsung menoleh. Namun, betapa terkejutnya melihat siapa yang datang menyambang.

"Fi-Fino?" sendatku kaget. Pemuda itu menaikan alisnya. Lalu dengan santainya duduk tepat di hadapan. "Ngapain menemuiku?" tanyaku heran. Sedikit tidak suka juga.

"Kamu yang memintanya kan, Nggun?" jawabnya tenang tanpa embel-embel 'Mbak' lagi. "Nih!" Kemudian dia meletakan secarik kertas yang berisi pesanku untuk Rudi.

Mataku membulat karenanya. "Oh my God!" Aku menepuk jidat.

"Kenapa?" Dahi Fino berkerut heran.

"Pesan itu aku tujukan untuk Rudi. Bukan untuk kamu." Aku menjawab jujur. "Payah pelayan itu!" rutukku dengan memutar bola mata. Kesal menguasai jiwa.

"Atasan pelayan itu kan aku. Bukan Rudi." Fino menjelaskan. "Pelayan itu gak salah, kamunya aja yang keliru nulis. Kenapa gak nyantumin nama Rudi di memonya," lanjut Fino dengan roman muka yang keruh.

Nada bicaranya terdengar kesal setelah mendengar pengakuan jujurku. Aku sendiri hanya bisa terdiam karena merasa apa yang diucap pemuda itu adalah benar.

"Terus ... kue itu mana?" Akhirnya aku menanyakan red velvet istimewa untuk Rudi.

"Sudah kumakan. Enak sekali! Tak kusangka kamu pinter bikin kue, Anggun," jawabnya enteng disertai pujian dan cengiran khas.

Seketika bibirku maju mendengar jawaban ringannya. Penjelasannya sungguh terdengar berat di telinga. Pasalnya kue itu susah payah kubuat untuk Rudi, tapi malah salah orang. Akhirnya, aku hanya bisa mendengkus pasrah.

Pasca Cerai Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang