Part 17. Insiden

24.8K 1.5K 124
                                    

Fino melangkah hati-hati menuju mobilnya sembari mengangkat tubuhku. Di sepanjang jalan terlihat beberapa orang memandangi kami. Ada juga yang berkasak-kusuk tidak jelas. Dan yang paling membuat gemas adalah ada beberapa pengunjung perempuan yang memaksa minta foto dengan Fino.

Maksudnya apa coba?

Mungkin tujuan mereka adalah memfoto Fino. Tapi kan tahu sendiri pemuda itu sedang tergopoh membopongku. Untung Ria dengan tegas melarang. Fino sendiri juga menghindari. Apalagi mendengar aku yang terus meringis, pemuda itu sama sekali tidak peduli pada penggemarnya yang merangsek ingin minta foto bareng.

Akhirnya, setelah susah payah berjalan sembari membopong tubuhku sembari menghindari fans gila itu, Fino berhasil juga sampai ke sedan mewahnya. Ria yang berjalan di belakang bergegas membuka pintu jaguar hitam itu.

Dengan penuh kehati-hatian pemuda berambut cepak itu menurunkan badanku di jok belakang. Kemudian memutari mobil untuk ambil kemudi. Ria sendiri lantas duduk di sampingnya.

Sebelum menstater mobilnya, Fino melongok ke arahku. "Kita ke rumah sakit?" tawarnya perhatian.

"Sttt ... tidak usah!" Aku menolak dengan gelengan lemah. Namun, desisan dari bibirku juga terus saja terdengar. Karena jujur saja kaki ini sakitnya sungguh luar biasa.

"Tapi, kamu kesakitan gitu," tukas Fino terlihat iba.atanta tidak lepas menatapku.

"Gak papa," balasku masih disertai desisan. "Sttt ... nanti dikompres juga baikan," lanjutku meringis nyeri.

"Nanti mampir aja di apotik. Beli obat dan gel pereda rasa sakit." Ria memberi saran pada Fino.

"Bagaimana, Nggun?" tanya Fino kembali menoleh

"Aku ... sstt ... setuju dengan pendapat Ria," balasku lirih.

"Oke."

Begeralah pemuda berdagu lancip itu melajukan mobilnya. Di tengah jalan tiba-tiba Fino menanyakan alamatku. Ria yang menjawabnya.

"Cimanggu Permai? Benarkah?"
Terdengar pemuda itu kaget saat mengetahui alamatku.

"Memangnya kenapa, Fin?" tanya Ria terlihat heran. Aku sendiri juga heran melihat ekspresi terkejutnya Fino.

"Ah ... enggak!" Fino hanya menggeleng saja.

Lalu Fino dan Ria terlibat obrolan santai sepanjang perjalanan. Aku sendiri hanya bisa diam mendengarkan sembari menahan rasa nyeri yang tidak juga sirna.

Ketika melewati jalanan yang lumayan sepi, tiba-tiba dari arah belakang ada sebuah mobil jeep putih melaju kencang. Menyalip mobil yang kami kendarai sekarang. Saat berhasil mendahului mobil Fino, jeep itu berhenti menghadang. Membuat Fino terpaksa mematikan laju kendaraannya.

Dari jendela kaca, terlihat tiga pria ke luar dari jeep tersebut. Dua orang berperawakan besar dengan jaket kulit berwarna hitam. Seorang lagi adalah seorang pemuda seumuran Fino.

Cowok itu mengenakan hoodie hitam yang menutupi kepalanya. Wajah dan penampilannya menunjukkan kalau dia pemuda dari golongan elite. Mungkinkah dia temannya Fino? Kemudian ketiga lelaki itu berjalan gagah mendekat ke arah mobil Fino. Pemuda hoodie itu mengetuk kaca jendela.

"Ke luar lu, Fin!" bentak pemuda itu sembari menggebrak kap mobil Fino. Cukup keras membuat aku dan Ria terjingkat kaget.

"Jangan, Fin!" larang Ria ketika Fino hendak ke luar mobil. Gadis itu memegangi lengan Fino dengan erat.

"Kalian tenanglah!" ujar Fino santai, "gak usah panik! Kunci pintu mobil saja. Kalo terjadi apa-apa padaku, baru kamu berlari meminta bantuan, Ria."

"Baik," sahut Ria menurut.

"Hati-hati, Fin!" Aku ikut memberi nasihat.

Fino tersenyum dan mengangguk yakin. Kemudian dengan tenangnya, dia menemui pemuda berhoodie hitam itu.

Ketiga orang itu menggiring Fino ke arah belakang jeep. Lalu entah apa yang diucapkan pemuda itu pada Fino, tak terdengar olehku. Hanya saja cowok itu terlihat begitu geram pada Fino. Matanya melotot marah dan menunjuk-nunjuk muka bos Rudi itu. Keduanya tampak begitu serius.

Lantas hal yang ditakutkan pun terjadi. Si hoodie hitam itu tiba-tiba menonjok perut Fino. Terlihat begitu keras. Sampai-sampai bos Rudi itu terhuyung ke belakang.

Saat Fino hendak membalas, kedua lengannya dijegal oleh anak buah pemuda itu. Membuat koki ganteng itu tak berkutik. Dirinya tidak bisa untuk melawan saat berungkali si hoodie menghujani muka dan perutnya dengan bogeman.

Berkali aku dan Dia menjerit saat melihat Si Hoodie menghadiahkan Fino tonjokan. Kasihan! Pemuda itu tidak berdaya di bawah Kungkungan dua berandal anak buahnya Si Hoodie.

Melihat Fino yang sudah babak belur, aku tak tega melihatnya. Aku harus mengambil tindakan. Fino harus kuselamatkan entah bagaimana caranya.

Tiba-tiba aku teringat Stiletto kepunyaan Fino. Sepertinya sepatu berhak runcing ini bisa membuat si botak dan di gondrong teluka. Maka walau masih nyeri aku tertatih ke luar mobil.

"Ay, mau ngapain kamu?" tanya Ria dengan raut wajah panik.

"Nolongin Fino. Kamu lekas hubungi polisi. Cepat!"

"Tapi, Ay ...."

"Lakukanlah!" selaku cepat.

Ria bergegas mengambil ponselnya. Pastinya hadis itu mulai menghubungi polisi, sedang aku terseok membuka bagasi untuk mengambil stilleto kepunyaan Fino.

Langkah selanjutnya adalah mendatangi keempat orang itu. Walau kaki terasa begitu sakit saat digerakkan, tapi kupaksa untuk tetap melangkah. Fino tidak boleh terluka lebih parah lagi.

Tertatih-tatih aku berjalan. Lalu ketika sudah dekat jaraknya dengan para penjahat itu, kulempar stiletto pada kepala salah seorang bodyguard itu.

BRUGHH

Stiletto itu tepat mengenai kepala belakang pria bercelana jeans robek-robek. Seketika lelaki itu memekik kesakitan dan menoleh padaku. Kemudian kulempar lagi pasangan stiletto pada teman si bandit. Dan tepat mengenai punggungnya.

Kedua preman itu menatap geram kepadaku. Melepas cengkeramannya pada lengan Fino. Dan segera menyerbuku. Seorang bandit yang berkepala botak dengan kuat memelintir tanganku ke belakang. Membuat aku menjerit kesakitan.

"Jangan sakiti diaaa!" gertak Fino terdengar murka.

Namun, kedua bandit sialan itu tak menggubris. Mereka tetap melampiaskan kekesalannya dengan terus menyakiti. Ada yang menjambak, ada pula yang terus memelintir tanganku dengan kuat.

"Tolong ... tolonggg!" Terdengar Ria berteriak ke luar dari mobil. Wajahnya tampak pucat pasi ketakutan melihat kedua bandit terus saja menyiksaku.

Sementara itu, setelah berhasil membuat pemuda berhoodie hitam bertekuk lutut, Fino bergegas mendekat. Membuat kedua preman mendorong tubuhku dengan amat keras. Sehingga aku tersungkur ke tanah dengan muka yang mencium tanah terlebih dahulu. Beruntung Ria segera menolong. Sementara Fino bergegas menghajar dua preman tersebut dengan membabi buta. Jerit kesakitan si botak terdengar begitu membahana saat Fino memelintirnya. Si gondrong melolong pilu saat Fino menginjak-injak buas punggungnya.

"Aya ... kamu gak papa?" tanya Ria cemas.

Dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada, aku mencoba bangkit berdiri dibimbing oleh Ria. Fino pun mendekat setelah berhasil menaklukan dua preman itu hingga jatuh.

Badanku terasa sakit semua. Kepala pun serasa diputar-putar. Aku terhuyung jatuh.

"Anggun ...."

Beruntung Fino sigap menyambar tubuhku ke dalam pelukannya. Pemuda itu menatapku khawatir. Aku yang merasa luar biasa pusing, hanya bisa meringis memijit pelipis. Kemudian pandangan menjadi kabur. Sepertinya aku tak sadarkan diri.

🌷🌷🌷

Next

Penasaran? Baca lanjutan kisah ini di KBM applikasi dan Joylada. Bisa juga beli e-book nya di google play store. Kalo mau yang fisik dan ada tanda tangan saya bisa order novelnya. Ini nomer wa aku 081225224075

Pasca Cerai Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang