Bagian 22

180 20 0
                                    

"Ketika kematian telah datang menjemput, tak ada siapa pun yang mampu untuk mengelak ataupun sekadar menunda. Tak peduli tua, muda atau balita sekalipun. Ketika daun yang berisi namanya telah gugur di lauhul mahfuz, maka saat itu malaikat Izrail menunaikan tugasnya."

~Keandra Arshaka Mahendra Dirgantara"

"Kek, aku antar ke rumah sakit, ya. Takutnya sakitnya nanti malah tambah parah kalau enggak diperiksa." Keandra membujuk sang kakek.

"Kakek baik-baik saja, kamu enggak perlu khawatir. Setelah minum obat nanti sakitnya juga hilang kok daripada hanya buang-buang uang. Toh, mungkin memang sudah waktunya untuk Kakek menyusul orang tuamu." Kakek Ferdi menerawang jauh.

Keandra menggeleng, belum siap jika harus kehilangan satu-satunya keluarga yang dimiliki.

"Kek, jangan pernah bicara seperti itu lagi. Kakek pasti bisa sembuh, aku akan mengusahakan yang terbaik untuk kesembuhan itu. Uang bukan masalah, asalkan Kakek bisa sembuh dan bisa terus mendampingiku."

Kakek Ferdi mengusap puncak kepala cucu semata wayangnya, dia tak yakin bisa bertahan lebih lama. Mengingat jantungnya yang telah mengalami kebocoran selama tiga bulan terakhir dan menolak untuk operasi pemasangan ring dan hanya mengandalkan obat pereda nyeri.

Nyeri itu kembali menghantam dada, membuat Kakek Ferdi mencengkeram kuat lengan Keandra. Tubuhnya pun bermandikan peluh dengan napas yang putus-putus. Dia serasa berada di ruang hampa udara hingga membuatnya kesulitan untuk bernapas.

"Kek, Kakek kenapa? Kakek harus kuat, jangan tinggalkan aku sendiri di dunia ini. Hanya Kakek yang Andra punya, tolong bertahan untukku." Keandra menggenggam tangan penuh keriput itu dengan kuat.

"Ndra, pen-donor mata itu ada-lah Ca ...."

"Siapa, Kek? Siapa yang sudah mendonorkan matanya untukku? Jawab, Kek!" Keandra lepas kendali dan mengguncang pelan lengan Kakek Ferdi.

"Di-a Ca ... Cakra-wala. Kakak dari Aksara," lirih Kakek Ferdi.

Tubuh renta itu terkulai lemas dengan netra yang memejam setelah memberitahu tentang siapa yang telah menjadi pendonor baginya lima tahun lalu.

Keandra mengecek denyut nadi Kakek Ferdi, tetapi tak lagi merasakan. Embusan napas dan detak jantungnya pun tak lagi bisa dirasakan olehnya. Seketika tangisnya pecah begitu menyadari bahwa sang kakek telah kembali pada Sang Pencipta.

"Kek, bangun. Andra mohon bangun, cuma Kakek satu-satunya keluarga yang aku miliki," Keandra memeluk erat tubuh sang kakek yang telah tak bernyawa.

Keandra mengguncang tubuh Kakek Ferdi, tetapi lelaki berambut putih itu tetap diam tak bergerak. Seluruh kulit tubuhnya bahkan terasa dingin ketika disentuh, wajah ovalnya pun berubah pucat tanpa rona. Pemuda itu menangis sembari memeluk tubuh ringkih kakeknya yang telah terbaring mati.

"Kek, Andra masih butuh Kakek. Andra sudah kehilangan Papa dan Mama. Jadi, tolong jangan pergi." Suara Keandra terdengar lirih dan parau.
 
Setelah cukup lama meratap, pemuda itu berlari keluar dan berteriak sekuat tenaga untuk meminta tolong. Beberapa tetangganya pun segera menghampiri pemuda itu yang masih tampak syok.

"Ada apa, Mas?"

Bukan jawaban yang diberikan, melainkan suara tangis yang telah berubah menjadi raungan. Beberapa orang berlalu masuk dan mengecek kondisi Kakek Ferdi, sementara yang lain berusaha menenangkan Keandra.

"Istigihfar, Mas. Istighfar, Astagfirullah hal adzim." Pak Jaya menuntun Keandra.

Keandra menggeleng dengan air mata yang semakin deras bercucuran dari sudut matanya. Tubuh itu pun ambruk begitu saja menghempas tanah, membuat semua orang semakin panik.

Oŕosima (End)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang