Bagian 2

384 65 19
                                    

"Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya, meski terkadang cara yang mereka gunakan salah."

"Mbok, tolong kompres luka Aksa karena saya harus segera kembali ke kantor. Makan siangnya Simbok antar ke kamarnya saja, tadi sempat mengeluh pusing anaknya." Prima menghampiri Mbok Minah yang sedang menyiapkan makan siang.

"Baik, Tuan."

Usai berbincang dengan Mbok Minah, Prima segera kembali ke kantor karena ada pertemuan penting yang tak bisa diwakilkan. Sebagai seorang pengusaha di bidang properti, dia lebih suka turun tangan sendiri dalam berbagai aspek, menemui klien dan memastikan memberikan pelayananan terbaik adalah salah satunya.

Usai pekerjaannya selesai, Prima berinisiatif menelepon temannya yang berprofesi sebagai dokter. Sejak tadi pikirannya tidak tenang memikirkan tentang sang putra, khawatir sesuatu yang buruk terjadi padanya. Dia sudah kehilangan istri serta putra sulungnya dan tidak ingin merasakan luka yang sama akibat harus kembali kehilangan si bungsu.

"Halo, ada yang bisa saya bantu?"

"Rama ... Rama, wajib banget ngucap kata itu ya? Perasaan tiap kali ketemu dokter, pertanyaan itu yang sering ditanyakan."

Rama mengecek nama yang tertera di layar ponselnya, Prima. Dia terkekeh karena terlalu fokus hingga tak menyadari bahwa telepon itu berasal dari sahabat lamanya.

"Lo sakit atau gimana?" Rama to the point.

"Sakit hati, iya. Bisa resepkan obat untuk itu?"

"Gue dokter umum, mana ngerti obat begituan," Rama terkekeh.

Prima pun menceritakan perihal tentang kejadian yang menimpa Aksara dan meminta saran tentang apa yang harus dilakukan olehnya.

"Kemungkinan Aksa mengalami cedera kepala ringan, untuk mengantisipasi agar kondisinya tidak semakin parah lebih baik pastikan istirahatnya cukup dan sementara waktu hindari aktifitas fisik. Seandainya, ada gejala lain bawa  ke rumah sakit untuk pemeriksaan."

"Terima kasih, berguna juga gue punya teman dokter bisa konsultasi gratis." Prima tertawa kecil.

"Oke, tapi lain kali lo harus bayar dengan cara lain. Makan siang gratis, misalnya." Rama terkekeh di seberang sana.

" Satu lagi, jangan kebanyakan kerja.  Anak lo juga butuh perhatian. Setelah kakak dan ibunya meninggal, gue yakin dia kesepian. Ada beban yang disimpan sendiri, apalagi Aksa itu tipe orang yang pendiam. Sering-sering ajak dia bicara." Rama mengingatkan.

"Gue udah nyoba, tapi anak itu makin susah gue jangkau. Makasih sarannya, ntar gue coba lagi."

Prima mengucapkan terima kasih, dan menutup panggilan teleponnya. Dia meminta sekretarisnya untuk mengatur ulang jadwal pertemuan selanjutnya karena sang putra sedang tidak sehat. Akhirnya, memilih untuk pulang dan mencoba untuk mengikuti saran dari Rama.

****
Aksara memilih bermain game di kamarnya. Kamar dengan nuansa biru langit itu tampak lebih berwarna dengan beberapa hiasan dinding, tanaman anggrek bulan di beberapa sudut ruangan, serta sukulen yang di letakkan di atas meja belajar.

Waktu yang dimiliki oleh remaja itu sering kali dihabiskan untuk bermain game, sekadar untuk membunuh bosan dan sepi. Bagaimana tidak, di rumah megah itu hanya ada ia dan juga Mbok Minah. Ayahnya hanya akan berada di rumah saat malam telah larut.

Tok! Tok! Tok!

"Mas, Simbok boleh masuk?"

"Masuk saja Mbok, pintunya tidak dikunci kok," jawab Aksara tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel.

Oŕosima (End)√Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu