Bagian 11

194 30 0
                                    

Prima sengaja pulang lebih awal dari biasanya, berharap bisa makan malam bersama Aksara. Seminggu terakhir ini, pekerjaannya benar-benar menumpuk sehingga mengharuskannya lembur. Alhasil, sama sekali tak memiliki waktu untuk sekadar bertegur sapa dengan putranya. 

Meskipun begitu, lelaki yang belum genap berusia 40 tahun itu tetap mengontrol keadaan si bungsu melalui Mbok Nah. Dia bahkan tak pernah lupa menghubungi wanita paruh baya itu untuk memesankan menu makan siang ataupun makan malam untuk Aksara.

Hanya sebatas itu perhatian yang bisa dia usahakan untuk sementara ini karena waktu dan energinya terkuras untuk memikirkan pekerjaan yang tak ada habisnya. Apalagi ditambah dengan beberapa masalah internal di kantor, semakin membuat Prima kelabakan untuk menyelesaikan.

Prima tiba di rumah tepat ketika azan isya berkumandang di masjid kompleksnya. Namun, dia sama sekali tak menemukan motor sang putra di garasi. Lelaki itu menghela napas, rencananya tak sesuai ekspektasi.

"Mbok, Aksa belum pulang?" Prima menghampiri Mbok Nah yang tengah menata makanan di meja makan.

"Mas Aksa baru pergi sekitar 15 menit yang lalu, Tuan. Tadi izin mau makan di luar sama temannya."

Prima mengangguk, kemudian berlalu menuju kamar untuk membersihkan diri. Setelahnya kembali ke ruang makan untuk makan malam. Di meja makan tersaji beraneka sayur serta lauk, tetapi tak ada satu pun membuat seleranya tergugah. Padahal tersedia makanan favoritnya—semur ayam dan oseng bunga pepaya.

Di sana juga terhidang  sambal goreng ati serta oseng kangkung—makanan favorit Aksara. Namun, si bungsu itu tak berada di rumah. Padahal dia sengaja memesan menu favorit putranya agar ia makan malam di rumah. Salahnya yang tak memberitahu bahwa akan pulang lebih awal. Niatnya ingin memberi kejutan, justru berakhir dengan kegagalan.

Prima hanya mengaduk-aduk makanannya tanpa selera. Bayangan Sinta yang sibuk mengambilkan nasi untuknya tampak nyata di pelupuk mata. Pun dengan Cakrawala serta Aksara yang berebut perhatian dari sang bunda.

"Yah, mau makan apa? Biar aku ambilkan."

"Apa pun yang kamu ambilkan pasti bakalan aku makan kok, aku suka semua masakan istriku yang paling cantik ini," goda Prima.

Lesung pipi di wajah Sinta tercetak jelas, wajah putihnya bersemu merah mendengar pujian sang suami.

"Bun, Aksa mau cumi goreng."

"Lo, kan, sudah punya ayam goreng. Cuminya milik gue dong, masa semua buat lo." Cakrawala memberengut sebal.

"Bun," Aksara merengek.

"Serakah itu enggak baik, Sa. Habiskan dulu ayam gorengnya, nanti baru ambil cumi goreng."

Cakrawala tersenyum senang karena merasa dibela oleh sang bunda, sementara Aksara memanyunkan bibirnya.

"Mas Cakra juga, kalian itu saudara. Jadi, harus saling berbagi. Lagi pula Bunda masaknya juga banyak. Enggak baik bertengkar hanya karena berebut makanan, jangan diulangi lagi." Suara lembut Sinta membuat kedua putranya menunduk.

"Ayo, saling minta maaf."

" Mas Cakra duluan, Bun."

"Enak aja, Aksa duluan."

"Minta maaf itu bukan berarti kita salah dan yang lainnya benar, tetapi tentang siapa yang mempunyai keluasan hati paling besar. Minta maaf enggak akan menurunkan derajat diri kita, tetapi justru akan menaikkannya di hadapan Allah." Ibu dua anak itu tersenyum.

"Maaf, Bun." Aksara dan Cakrawala serempak menjawab.

"Bunda cuma ingin mengajarkan agar kalian hidup akur, berbagi pada sesama karena kita enggak pernah tahu kebaikan mana yang akan membawa kita ke surga-Nya."

Oŕosima (End)√Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt