Bagian 24

221 21 0
                                    

"Menasihati yang paling berat adalah ketika menasihati diri sendiri karena selalu mampu menemukan alasan untuk melakukan pembenaran atas semua kesalahan yang telah dilakukan."

~Keandra Haris Pradipta~

Acara peringatan tujuh hari meninggalnya Kakek Ferdi telah dilaksakan, semua tamu pun telah pulang sejak setengah jam yang lalu. Di rumah sederhana itu hanya menyisakan Keandra serta Prima karena Aksara tengah mengantarkan Davi kembali ke rumahnya.

Prima mendekati Keandra yang tampak termenung di beranda rumahnya. Netra pemuda itu menatap kosong pada hamparan langit malam tanpa gemintang. Raut sedih masih begitu kentara di wajahnya.

"Andra, ada yang ingin Om bicarakan sama kamu." Prima turut duduk di kursi bambu di samping Keandra.

Keandra bergeming, perhatiannya sama sekali tak teralihkan. Membuat Prima menghela napas pelan, sikap pemuda itu mengingatkannya pada Cakrawala ketika tengah bersedih.

"Sikap kalian benar-benar mirip, ketika tengah bersedih Cakra juga akan berdiri di balkon kamarnya sembari menatap langit malam. Sama persis seperti yang kamu lakukan sekarang."

"Cakra menyukai langit, dia selalu bilang kalau langit selalu mampu memberinya ketenangan. Hanya dengan menatapnya lama, semua kesedihannya turut sirna."

Prima menoleh ke arah Keandra, tetapi pemuda itu sama sekali tak menoleh. Namun, dia yakin bahwa pemuda itu mendengarkan setiap ucapannya.

"Om tahu kamu masih berduka karena harus kehilangan kakekmu, tetapi hidup harus terus berlanjut, bukan? Sampai kapan kamu akan terus terpuruk dan terkurung dalam nestapa?"

Keandra menunduk, sangat tahu akan hal itu. Namun, dia tak bisa mengontrol dirinya sendiri. Logikanya tak berfungsi sebagaimana mestinya karena setiap gerakan dan sikap telah telah dikuasai dan dikendalikan oleh hati.

"Ndra, Om tahu bahkan sangat tahu bagaimana perasaanmu saat ini. Om pernah ada di situasi yang sama hingga dua kali dalam lima tahun terakhir. Rasanya sulit, sangat sulit walau hanya untuk sekadar tersenyum tipis. Namun, terus berduka bukan sebuah pilihan yang tepat."

Keandra hanya menyimak tanpa berniat menyela ataupun berkomentar. Padahal dia telah menyiapkan kata yang bisa digunakan untuk mendebat pendapat Prima, tetapi lidahnya terasa kelu.

"Kamu masih muda, jalanmu pun masih panjang jika Allah mengizinkan. Om salut sama kamu karena bisa mengubah sudut pandang Aksara dan membuatnya berubah ke arah yang lebih baik. Namun, kenapa kamu enggak bisa menerapkan hal yang sama untuk hidupmu sendiri?"

Keandra menghela napas, membenarkan setiap kata yang terucap dari bibir tipis lelaki paruh baya di sampingnya itu. Rasanya begitu mudah ketika memberikan serangkaian kata motivasi untuk Aksara, tetapi semua kata itu justru tak berlaku bagi dirinya sendiri.

"Andra enggak tahu harus bagaimana untuk ke depannya, Om. Semuanya terlalu cepat dan singkat untuk bisa dimengerti. Kepergian Kakek yang tiba-tiba membuat hati ini masih tak mampu percaya atas apa yang telah terjadi. Rasanya itu hanya sekadar mimpi buruk." Keandra mengusap wajahnya kasar.

Prima meraih pemuda dua puluh satu tahun itu ke dalam dekapan, mengelus pelan punggungg lebarnya bahkan mengecup puncak kepalanya.

"Andra, mulai sekarang kamu adalah bagian dari keluarga Pramudya. Om akan mengadopsimu sebagai anak dan kita bertiga akan tinggal bersama. Bukan sebagai pengganti Cakrawala yang telah pergi, lebih dari itu karena Om telah menyayangimu layaknya putra sendiri."

Keandra tertegun, sama sekali tak menyangka bahwa Prima akan menawarkan sesuatu yang sangat ingin dia dapatkan, kehangatan keluarga yang telah lama tak bisa dirasakan. Namun, pemuda itu tetap meragu. Takut bahwa semua mimpi itu terlalu jauh dan pada akhirnya hanya akan memberi rasa sakit lebih banyak lagi.

"Om, Andra sangat berterimakasih atas perhatian yang telah diberikan. Hanya saja masih butuh waktu untuk berpikir, bagaimanapun rumah ini menyimpan banyak kenangan bersama Kakek." Keandra melepaskan diri dari dekapan Prima.

Prima mengangguk, tak akan memaksa jika Keandra tidak mau menerima tawarannya. Setidaknya telah mengusahakan yang terbaik  untuk pemuda yatim-piatu itu.

Suara deru motor mengalihkan perhatian mereka. Di halaman, Aksara tengah memarkirkan motornya. Remaja berlesung pipi itu pun turut menyusul Keandra dan Prima yang tengah berbincang. Dari raut wajah keduanya, ia bisa menyimpulkan bahwa telah terjadi sesuatu di sana.

"Ada apa? Kalian kok jadi secanggung ini? Ada yang kalian sembunyikan?" cerca Aksara.

"Enggak ada." Keandra dan Prima menjawab bersamaan.

Aksara justru semakin curiga karena keduanya tampak gugup. Entah untuk alasan apa, ia sendiri tak tahu-menahu.

"Yah, bagaimana kalau Bang Andra tinggal bareng kita saja. Lagi pula, kamar Mas Cakra sudah terlalu lama dibiarkan kosong. Akan lebih bermanfaat jika kamar itu kembali digunakan." Aksara berusaha mencairkan suasana dengan mengalihkan perhatian.

"Bang Andra setuju, 'kan? Biar gue ada teman kalau Ayah pergi kerja. Jadi, enggak kesepian kaya sebelumnya." Aksara menatap Keandra sembari tersenyum manis.

"Oke, tapi dengan satu syarat. Kalau syarat ini enggak bisa lo penuhi, maka perjanjian kita batal. Gimana?"

Aksara dan Prima saling pandang, sang ayah memberi kode agar ia mau menerima syarat itu. Demi kebaikan bersama, lebih tepatnya untuk kepentingan duda satu anak itu.

"Aksa setuju, syaratnya apaan? Gue yakin bisa memenuhi apa pun syaratnya asal enggak melanggar norma agama ataupun hukum."

Keandra tak lantas menjawab, senyum yang ditunjukkan pada Aksara justru membuat bulu kuduk remaja itu seketika meremang.

"Lo harus dapat nilai sempurna minimal lima mata pelajaran di akhir semester nanti. Lo masih punya waktu sekitar lima bulan untuk bersiap." Keandra tertawa kecil.

Aksara memanyunkan bibir begitu mendengar syarat yang diajukan oleh Keandra, terlalu mustahil baginya. Apalagi ia terlalu ketinggalan pelajaran akibat bolos selama seminggu penuh, sedangkan Prima terkekeh. Lelaki berambut hitam legam itu tersenyum pada pemuda di hadapannya sembari mengacungkan kedua jempolnya.

"Enggak ada syarat lain apa? Apa pun selain nilai sempurna di lima mata pelajaran." Aksara menatap Keandra dengan tatapan mengiba.

Keandra dengan tegas menggeleng, tak pernah berpikir untuk menukar syarat itu dengan yang lain. Itu hanya salah satu cara untuk memotivasi Aksara agar belajar dengan lebih giat.

"Abang bakalan tinggal sama lo, kalau syarat itu terpenuhi. Satu lagi, selama lima bulan ke depan enggak boleh ada  catatan pelanggaran yang dilakukan." Keandra tersenyum puas.

Mendengar itu wajah Aksara semakin masam, tetapi tak memiliki pilihan lain selain menyetujui. Jika ingin Keandra benar-benar tinggal bersama di rumah milik sang ayah, maka ia harus belajar dengan giat  da memperbaiki sikap agar memenuhi syarat itu.

"Oke, siapa takut! Gue bakalan buktiin kalau bisa memenuhi syarat itu dengan mudah. Pada dasarnya gue itu jenius cuma malas aja, makanya nilainya sering anjlok kaya perosotan." Aksara membela diri.

One Day One Chapter
Day 24
Kulon Progo, 21 Oktober 2020

Oŕosima (End)√Место, где живут истории. Откройте их для себя