Bagian 9

247 31 0
                                    

"Seandainya bisa memilih, aku memilih pergi terlebih dulu agar tak harus menanggung luka dan sakit akibat kehilangan. Namun, aku tak pernah memiliki hak untuk itu semua. Satu-satunya yang bisa dilakukan hanyalah menerima dan mencoba mengikhlaskan segala yang terjadi."

~Prima Pamudya~

Sejak tadi Prima hanya mondar-mandir di kamar, menyesali ucapannya pada sang putra. Sesekali menggigit kuku tangan, kebiasaan ketika dilanda gelisah. Namun, tetap tak mampu meredakan gelisah yang melanda. Diraihnya figura di atas nakas, di sana keluarganya masih utuh dengan kebahagiaan yang sempurna.

"Seharusnya aku tidak berbicara seperti itu pada Aksara, kata-kata tadi terlalu menyakitkan", sesal Prima.

Diusapnya foto mendiang sang istri, manik cokelatnya menatap penuh kerinduan. Wanita cantik berlesung pipi itu telah menemani selama dua puluh tahun. Sejak dirinya masih belum punya apa-apa hingga sesukses sekarang. Sayang, takdir tak mengizinkannya untuk menua bersama.

Sinta—sang istri—menghadap Sang Pencipta terlebih dahulu dengan cara yang tak pernah dia harapkan. Wanita berumur 36 tahun itu  mengakhiri hidup dengan meminum racun tikus. Penyebab utamanya adalah kematian Cakrawala—si sulung—akibat kecelakaan.

Cakrawala merupakan putra kesayangan mendiang istrinya. Namun, bukan berarti mengabaikan Aksara. Keduanya tetap mendapatkan kasih sayang dan perhatian sama rata. 

"Kenapa harus istri dan putra sulungku yang Kau ambil terlebih dulu? Kenapa bukan aku saja, Tuhan?" Ratap Prima.

Si sulung adalah anak yang penurut dan berbakti, pun cerdas dan gemar membantu orang tua. Tak jarang dia berkutat di dapur bersama sang bunda untuk menyiapkan makanan.
Namun, Tuhan lebih menyayanginya hingga diambil terlebih dahulu.

Hal itu yang membuat Sinta terpukul hingga kehilangan akal sehatnya. Mengambil jalan pintas agar bisa tetap bersama sang putra. Namun, wanita itu lupa bahwa ada si bungsu dan sang suami  yang masih membutuhkan kehadirannya. 

Ketika rindu membuncah di dada, Prima akan menatap lekat foto mendiang sang istri dan mengusapnya dengan lembut. Berbincang panjang lebar seolah-olah wanita itu ada di hadapannya. Seperti yang dia lakukan saat ini, berkeluh kesah tentang sikap si bungsu yang tak lagi terkendali olehnya.

"Sayang, apa yang harus aku lakukan? Kamu selalu tahu bagaimana cara memenangkan hati putra kita, terutama Aksara. Sejak kamu pergi, dia sulit kujangkau. Aku tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana pada si bungsu," lirihnya.

Sama seperti Aksara, Prima pun merasa terpukul karena kepergian Sinta dan putra sulungnya. Namun, dia berusaha terlihat kuat dan tegar di hadapan si bungsu. Lelaki itu sadar harus ada salah satu dari mereka yang bisa menguatkan sekaligus memberi ketenangan. Jika keduanya sama-sama rapuh, lantas apa yang akan terjadi?

Sebagai orang tua tunggal, dia dituntut untuk bisa menjadi ayah sekaligus ibu bagi Aksara. Namun, sepertinya usaha itu menemui kegagalan. Kesibukannya dalam mencari nafkah, menyita seluruh waktu yang dimiliki sehingga kehilangan kesempatan untuk menjadi sosok ibu bagi remaja pencinta bintang itu.

Selain itu, Prima sengaja menyibukkan diri dengan bekerja agar bisa melupakan kesedihannya. Setiap kali berada di rumah, bayang-bayang  kematian sang istri selalu mengikuti. Padahal dia sudah menjual rumah lamanya dan pindah  untuk memulai hidupnya yang baru.

Air mata yang sedari ditahan, akhirnya meluncur bebas membasahi wajah. Sekuat-kuatnya lelaki tetap akan rapuh ketika kehilangan orang yang berharga dalam hidup, apalagi kehilangan dua orang sekaligus dalam kurun waktu yang berdekatan.

Oŕosima (End)√حيث تعيش القصص. اكتشف الآن