Bab 13

191 29 0
                                    

Sepeninggal Aksara, Prima merenungi semua sikap yang dilakukannya pada sang putra. Dia menyadari bahwa sikap itu tak seharusnya dilakukan. Putranya itu justru semakin jauh dari jangkauan.

Duda satu anak itu lupa bahwa Aksara bukan Cakrawala yang akan menurut ketika dikekang. Namun, ia akan semakin berontak ketika merasa kebebasannya direnggut paksa. Kekerasan yang digunakan dalam mendidik si bungsu justru membuat jeda diantara mereka semakin berdiri kokoh.

Ingin menyusul, tetapi tak tahu menyusul ke mana. Dia sama sekali tak tahu tempat mana saja yang biasa dikunjungi oleh putranya itu. Sekarang, dia baru menyadari betapa tidak bergunanya dia sebagai seorang ayah karena buta tentang putranya sendiri.

Alhasil, dia hanya menunggu dengan gelisah di ruang tamu. Waktu terus beranjak, membuat kegelisahannya semakin menjadi. Prima berlalu keluar dan memilih menunggu putranya yang tak kunjung pulang di teras rumah. Padahal waktu sudah menunjukkan tengah malam, tetapi batang hidung Aksara masih belum tampak. Rasa cemas mulai menyelimuti hatinya.

"Sa, kamu ke mana?" Prima mondar-mandir, sesekali netranya melirik pintu gerbang berhadap putranya telah kembali.

Namun, hingga pukul satu dini hari Aksara masih belum juga kembali. Ingin mencari, tetapi tak tahu harus mencari ke mana. Ponsel sang putra pun sejak tadi tak bisa dihubungi. Ratusan pesan telah dia kirimkan, tetapi tak ada satu pun yang sekadar dibaca.

Penyesalan merasuk ke dalam hati lelaki satu ayah itu, berharap bisa diberikan kesempatan untuk mengulang kembali waktu yang telah berlalu. Satu harapannya, memperbaiki hubungan dengan sang putra yang terjeda.

"Maafkan, Ayah. Semua salah Ayah, andai saja ...." Prima beristighfar dalam hati ketika menyadari kesalahannya.

Tak seharusnya dia berandai-andai karena sama saja dengan menuntut kehendak takdir atas apa yang telah terjadi. Semua yang terjadi merupakan murni kesalahannya yang  tak mampu menjadi sosok orang tua yang baik bagi Aksara.

Rasa kantuk mulai menggelayut, tetapi lelaki itu tetap berusaha untuk terjaga. Ingin memastikan bahwa Aksara pulang dengan selamat tanpa kurang suatu apa pun. Ini pertama kalinya sang putra belum pulang hingga selarut ini.

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi."

Untuk kesekian kali hanya suara operator yang menyahut, membuat lelaki itu mendesah kecewa. Puluhan pesan yang dikirimnya pun tak ada satu pun yang dibalas. Sepertinya Aksara sengaja menonaktifkan ponsel miliknya.

Di tempat yang berbeda, Aksara masih terjaga. Ia tengah duduk di teras rumah Keandra sembari ditemani secangkir kopi panas.

"Sa, Abang boleh tanya sesuatu? Abang harap kali ini lo jujur tanpa ada yang disembunyikan." Keandra memecah keheningan yang sempat tercipta.

Aksara mengeryit, penasaran dengan apa yang ingin Keandra ketahui tentangnya. Namun, akhirnya mengangguk setuju.

"Sejak kapan lo melukai diri sendiri ketika ada masalah?"

Aksara tertegun, jantungnya berdetak lebih cepat. Tak menyangka akan mendapat pertanyaan itu dari pemuda di hadapannya. Ia terdiam cukup lama kemudian menarik napas panjang.

"Bang Andra kenapa tanya soal itu?" Bukannya menjawab, Aksara justru balik bertanya.

"Di pertemuan pertama kita, lo menantang preman itu kemudian menyerah tanpa perlawanan. Membiarkan mereka memukul membabi buta. Saat itu lo lagi ada masalah 'kan?" Keandra menatap langit malam tanpa gemintang.

Aksara terdiam, kepalanya menunduk dalam. Tebakan pemuda itu sama sekali tak meleset. Ia masih tak menyangka Keandra akan menyimpulkan seperti itu.

"Hari ini lo mukul pohon sampai luka-luka gitu juga karena lagi ada masalah. Abang hanya menebak, tetapi tetap yakin bahwa semua itu benar," lanjut Keandra.

"Gue enggak tahu tepatnya sejak kapan, Bang. Mungkin sejak Bunda pergi dan Ayah sibuk dengan pekerjaannya di kantor." Aksara menunduk.

Keandra mengusap pelan punggung Aksara, mencoba menyalurkan kekuatan dan ketenangan untuk remaja itu. Dia tak pernah bisa membayangkan sedalam apa luka yang dialami oleh Aksara sepeninggal sang ibu.

"Saat itu gue benar-benar terpuruk, enggak ada lagi yang bisa dijadikan sandaran. Gue cuma simpen semuanya sendiri tanpa berbagi pada siapa pun. Ayah yang gue harapkan akan peduli ternyata memilih  menyibukkan diri di kantor. Gue enggak tahu harus berbagi sama siapa." Aksara menghela napas panjang.

Keandra meraih pundak Aksara ke dalam dekapannya. Dia bisa memahami betapa dalam dan parah luka yang diderita oleh Aksara saat itu, bahkan hingga detik ini.

"Ayah yang enggak peduli membuat gue mencari berbagai cara agar dia perhatian lagi. Biang onar, biang keributan, itu hanya cara gue buat menarik perhatian. Bukan perhatian yang gue dapatkan, tetapi justru luapan kemarahan. Setiap ada masalah, Ayah hanya bisa menghakimi tanpa bertanya lebih dulu."

Keandra mengusap air mata yang tanpa sadar mengalir di wajahnya mendengar kisah milik Aksara. Nyatanya, sikap kasar yang ditunjukkan oleh remaja itu selama ini hanyalah topeng belaka. Topeng untuk menutupi kerapuhan yang mendera jiwanya.

"Gue berpikir dengan melihat anaknya sakit, Ayah akan meluangkan waktu untuk sekadar menemani. Memberi perhatian seperti beberapa tahun silam, tetapi Ayah tetap enggak peduli. Dia justru marah karena gue semakin merepotkan."

Aksara menangkup wajah dengan kedua tangan, meredam isak yang kian kentara. Dadanya benar-benar terasa sesak hingga membuatnya kesulitan untuk bernapas.

"Sa, lo enggak perlu melanjutkan jika itu hanya menuil luka lama yang belum sembuh. Abang minta maaf karena mengungkit kembali apa yang telah terjadi." Keandra mendekap Aksara dengan erat.

"Apa gue salah, Bang? Gue cuma pengen Ayah sedikit meluangkan waktu. Gue kesepian di rumah yang membuat kenangan buruk itu menghantui, tanpa ada orang yang bisa memberi rasa aman dan ketenangan," lirih Aksara.

Keandra terdiam, tak tahu harus berkomentar bagaimana. Semua kata motivasi yang telah disiapkan hilang begitu saja begitu mendengar kisah milik remaja itu. Dia tak bisa  menyalahkan Aksara, tetapi juga tak bisa menyalahkan orang yang remaja itu sebut sebagai ayah.

"Seenggaknya dengan luka luar yang gue rasakan, bisa sedikit mengurangi nyeri di hati.

One Day One Chapter
Day 13
Kulon Progo, 10 Oktober 2020

Oŕosima (End)√Where stories live. Discover now