Dua

12.9K 2.3K 54
                                    

"Jadi, fix kita ke Bali dan Lombok aja?"

Kiera hanya mengedik, tidak menjawab pertanyaan Alita. Dia terus mengamati brosur-brosur yang mereka bawa dari pameran yang mereka kunjungi tadi. Mereka mengambil beberapa brosur perjalanan yang ditawarkan salah satu stand agen perjalanan.

"Padahal gue pengin ke Papua," Alita melanjutkan tanpa menunggu Kiera merespons. "Jani bilang di sana banyak banget spot bagus. Nggak cuman Raja Ampat doang. Tapi gue cuman bisa ngambil cuti 4 hari doang. Waktu segitu nggak mungkin cukup untuk bisa menikmati perjalanan ke sana."

"Tahun depan cuti tahunan lo diambil sekalian, jangan dicicil biar kita bisa jalan lama dan jauhan dikit. Selain ke Bali dan Lombok, kita belum pernah liburan keluar Jawa bareng." Kiera akhirnya menyingkirkan brosur-brosur yang menawarkan gambar pemandangan yang menggiurkan itu ke atas meja.

Alita membuka kulkas dan mengambil dua kaleng minuman bersoda sebelum menyusul Kiera duduk di stool meja bar dapurnya. Dia meletakkan salah satu kaleng di depan Kiera dan menyesap isi kaleng di tangannya. "Lihat lo bebas merdeka dan bisa jalan ke mana aja kayak gini, kadang-kadang gue tergoda ikutan resign," katanya.

"Jangan resign." Kiera membuka kaleng dan ikut menyesap minumannya. "Lo suka banget sama kerjaan lo. Suasana kantor lo kan nyaman. Dan yang penting, bos lo nggak berengsek kayak mantan bos gue."

"Iya, gue nggak mungkin resign sih. Gaji gue di kantor lumayan. Kadang-kadang kalah sama royalti penjualan novel gue kalau pas ngeluarin novel baru, tapi gue masih nggak yakin bisa hidup dari nulis kayak elo. Gue kan mainnya di fiksi. Gimana kalau suatu saat produktivitas gue macet? Kerja mulut dan saluran pencernaan gue kan nggak bisa ikut macet juga."

Kiera berdecak. "Fiksi dan nonfiksi sama aja sih. Produktivitas itu tergantung niat. Gue harus produktif karena sekarang gue udah nggak jadi budak korporat lagi. Beneran udah hidup dari nulis."

Sudah hampir 3 tahun Kiera sudah berhenti bekerja kantoran. Pekerjaan utamanya sekarang adalah menjadi ghost writer. Dia mengerjakan buku biografi untuk pejabat, tokoh masyarakat, ataupun selebriti. Dia juga menulis artikel traveling dan menjadi kontributor untuk beberapa media daring internasional.

Penghasilannya sebagai penulis hantu jauh lebih besar daripada saat masih menjadi wartawan. Kini, tarifnya untuk sebuah buku bisa mencapai ratusan juta. Banyak orang yang mau membayar mahal untuk dibuatkan buku perjalanan hidup mereka karena tidak bisa mengerjakannya sendiri. Jabatan dan status sosial mentereng tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan berbahasa, terutama dalam bentuk tulisan. Ada juga yang memang murni tidak mempunyai waktu untuk mengerjakannya sendiri, sehingga lebih memilih penulis profesional yang kemampuannya sudah mumpuni.

Kiera mengandalkan promosi dari mulut ke mulut. Dan karena dia pintar memilih klien, maka dia tidak pernah sepi tawaran menulis. Hampir setahun terakhir Kiera malah mulai selektif menerima klien. Uang bukan masalah lagi, jadi dia mulai memilih kisah-kisah yang ingin dia bantu tuliskan. Dia akan menolak kalau pada pertemuan awal merasa tidak cocok dengan kliennya. Terutama pejabat daerah yang hanya ingin menyombongkan pencapaiannya dalam sebuah buku. Buku yang kemudian akan dibagi-bagikan kepada pendukungnya saat kampanye pemilihan kepala daerah untuk periode keduanya.

"Gue nggak bisa nulis nonfiksi." Alita terkekeh. "Kalau kisah hidup orang yang minta gue tulisin bukunya datar banget, gue pasti tergoda buat nambahin drama. Isi kepala gue saat nulis novel kan drama semua. Jualannya di situ."

Kiera ikut meringis. "Klien gue malah nyembunyiin bagian hidupnya yang penuh drama biar dosa-dosanya nggak kelihatan. Hanya dikit yang mau blakblakan. Biasa, pencitraan." Dia menghabiskan isi kalengnya dan membuang benda itu ke tempat sampah. "Gue cabut ya. Harus ke rumah klien nih."

Menanti Hari BergantiМесто, где живут истории. Откройте их для себя