Tujuh Belas

6.7K 1.4K 93
                                    

 Kiera hampir tidak bisa mengingat bagaimana dia berpindah dari toilet ke sebuah kamar berukuran sedang. Hanya ada sebuah tempat tidur (yang sedang dipakainya berbaring) dan lemari. Nuansa putih di kamar itu sangat kental.

Perlahan-perlahan, perasaan Kiera mulai tenang. Histeria yang tadi menyelimutinya berangsur terangkat, menyisakan perasaan lemas. Emosi benar-benar melumpuhkannya.

"Ini sanctuary saya," ujar Paramitha saat melihat tatapan Kiera yang menjelajahi ruangan. "Kadang-kadang saya butuh tempat tenang, tetapi nggak perlu meninggalkan kantor. Pekerjaan seperti yang saya lakukan ini terkadang menguras emosi karena kita akan selalu dihadapkan pada kenyataan bahwa manusia bisa sangat jahat pada sesamanya. Ini bukan pekerjaan ideal yang diinginkan banyak orang, tetapi saya nggak bisa meninggalkannya. Kalau dibandingkan antara jumlah kasus yang ada dan yang bisa kami bantu selesaikan, ini mungkin nggak bermakna. Tapi seseorang harus melakukannya. Dan ketika bicara tentang perasaan terluka, statistik realisasi kasus sebenarnya tidak bisa dijadikan tolok ukur. Semua orang sama berharga."

Kiera diam saja. Dia mengamati langit-langit, meskipun tidak ada yang bisa dilihat, kecuali warna putih.

"Tidak banyak orang yang tahu kalau saya punya kembaran," Paramitha kembali melanjutkan tanpa menunggu respons Kiera. "Kembar identik. Kami sangat dekat. Tidak ada rahasia. Semuanya berubah ketika kami berumur 16 tahun. Feiza mendadak menarik diri dan menjadi pendiam. Dia menjadi gampang kaget dan ketakutan. Saya tahu ada yang salah, tapi saya tidak bisa membuatnya bicara. Untuk pertama kalinya kami menjadi seperti orang asing, dan itu membuat saya sedih. Feiza yang berbagi tempat dengan saya di dalam rahim ibu kami mendadak tidak percaya saya lagi. Dia menolak saya."

Kiera bergeming. Entah apa maksud Ibu Paramitha menceritakan kisah hidupnya tanpa intro seperti itu. Saudara kembar itu bahkan tidak disinggung dalam buku yang ditulis Kiera.

"Kami baru tahu kejadian yang sebenarnya saat Feiza dibawa ke dokter karena sakit. Dia hamil. Itu mengejutkan kami semua. Fei baru berumur 16 tahun. Dia bahkan belum punya pacar. Dia hanya punya gebetan yang terus-terusan kami bahas sebelum Fei mendadak berubah.

"Setelah dipaksa bicara, Fei kemudian mengaku kalau dia diperkosa kakak teman sekelas kami yang mengantarkan Fei pulang setelah kerja kelompok di rumah mereka. Waktu itu saya dan Fei memang beda kelompok.

"Walaupun murka, orangtua kami memutuskan tidak membawa masalah itu ke ranah hukum karena khawatir terhadap dampaknya pada kejiwaan Fei. Apalagi keluarga kami cukup dikenal publik. Itu akan jadi santapan pers. Kesalahan paling besar yang dilakukan orangtua kami adalah tidak memaksa saat Fei menolak diajak ke psikiater, padahal kejiwaan Fei jelas terguncang. Alih-alih membaik seperti yang kami harapkan, dia malah semakin tenggelam dunianya yang nggak bisa kami mengerti dan masuki.

"Saya masih ingat jelas ketika Fei masuk selimut saya malam itu. Dia memeluk saya erat-erat dan bilang, "Tha, ini terlalu berat untukku. Aku nggak yakin bisa ngelewatin ini. Apa aku bisa jadi ibu yang baik? Apa aku bisa sayang sama anak ini nanti? Aku masih terlalu muda untuk ini, Tha. Salah aku apa sampai harus ngalamin ini?"

"Waktu itu, yang ada di dalam pikiran saya adalah, akhirnya saya bisa mendapatkan Fei kembali. Dia sudah memercayakan isi hatinya seperti semula. Tapi ternyata itu hanya ucapan selamat tinggal. Besoknya, Fei mengakhiri hidupnya. Dia memilih pergi karena kami tidak berusaha cukup keras untuk membantunya."

Kiera terus diam. Dia tidak tahu harus menggatakan apa. Kejujuran Paramitha mengejutkannya. Rahasia keluarga seperti itu seharusnya disimpan dalam-dalam, bukan diceritakan kepada orang asing seperti dirinya.

"Setelah cukup lama berurusan dengan masalah-masalah seperti ini, saya mulai familier dengan reaksi korban pelecehan seksual. Dan kamu jelas menunjukkan tanda-tanda itu saat mengamati foto yang ada di meja saya tadi." Paramitha menggenggam tangan Kiera. "Saya minta maaf karena tidak tahu sampai melihat ekspresi dan histeria kamu tadi. Dari penampilan luar kamu, sama sekali nggak ada tanda-tanda yang menunjukkan kalau kamu pernah mengalami hal yang mengerikan. Atau, analisis saya salah? Saya harap begitu."

Menanti Hari BergantiKde žijí příběhy. Začni objevovat