Delapan Belas

6.6K 1.3K 99
                                    

"MENURUT lo, gue harus ngasih kado apa?"

Risyad mengamati seisi toko bernuansa merah jambu itu sebelum berbalik menatap Tanto. "Menurut gue, lo mengajak orang yang salah untuk cari kado. Thian belum punya anak, jadi pengalaman gue dalam dunia perpamanan ini beneran nol besar. Harusnya lo ajak orang yang lebih mengerti."

Tanto menggaruk kepalanya bingung. "Gue nggak punya teman yang lebih ngerti urusan kado untuk anak-anak. Mengajak Rakha malah lebih kacau. Kado gue dari tahun ke tahun nggak pernah ada yang bener. Selalu kena protes Nyonya Subagyo. Lo kan rajanya PDKT. Pasti tahu dong apa yang disuka cewek."

Risyad berdecak. "Gue PDKT sama perempuan yang sudah cukup umur, bukan anak umur 3 tahun. Lo pikir gue pedofil apa? Lagian, dalam proses PDKT itu, gue nggak pernah ujug-ujug ngasih kado. Perempuan itu cenderung gampang baper. Padahal kan...."

"Iya, gue tahu," potong Tanto. "Padahal elo kan niatnya emang cuman mau PDKT doang, nggak mau lebih." Dia bergerak menuju sudut toko yang memajang boneka superbesar berwarna pink. "Boneka paling aman, kan? Nggak ada anak perempuan yang nggak suka boneka." Dia lalu menggeleng. "Masalahnya, ponakan gue anak perempuan Renata."

"Apa bedanya anak perempuan lain dengan anak perempuan Renata?" Risyad mengikuti Tanto mengitari toko, menjauhi bagian boneka tadi. "Tetap nggak ada jakunnya, kan?"

"Hei, jangan ngomong sembarangan soal ponakan gue ya!" Tanto langsung protes. "Lo kan tahu Rena. Kelihatannya aja dia manis dan lembut, tapi hobinya lebih laki daripada kita. Nyonya Subagyo hampir kena serangan jantung pas tahu cucunya udah diceburin ke kolam dan diajar berenang begitu lehernya kuat. Kalau elo lihat ponakan gue di kolam renang, lo pasti yakin dia punya keturunan duyung. Dia lebih dulu pintar berenang daripada merangkak." Tanto membanggakan keponakannya.

"Ya udah, beliin aja baju renang." Risyad mulai tidak nyaman tinggal di tempat itu lebih lama karena pegawai toko itu mulai kasak-kusuk sambil menatap mereka. Dia dan Tanto pasti terlihat sepasang gay yang sedang mencari hadiah untuk anak perempuan yang mereka adopsi.

"Dia sudah punya banyak baju renang," Tanto langsung menolak ide itu.

"Kan bukan elo yang beliin."

"Yang harganya mahal dikit dong, Bro. Kalau baju renang, kesannya gue pelit banget sama ponakan kesayangan gue."

"Kalau lo bingung, apalagi gue!"

"Gue nggak sabar menunggu dia jadi ABG." Tanto mengabaikan nada sebal Risyad. "Waktu itu gue pasti nggak perlu repot-repot. Cukup ngasih kartu biar dia belanja sendiri."

Akhirnya mereka keluar dari toko itu tanpa membeli apa-apa. Mereka memutuskan mampir di salah satu restoran yang ada di pusat perbelanjaan itu sebelum menjelajah toko mainan lain.

"Gimana Kiera?" tanya Tanto setelah mereka memesan makanan. "Ada perkembangan?"

Risyad mengedik. "Nggak ada kemajuan. Tapi kayaknya gue sudah tahu kesalahan PDKT gue di mana."

"Dia nggak suka laki-laki agresif?" tebak Tanto.

"Agresif dan blak-blakan itu berbeda."

"Untuk tipe konservatif, sama aja sih. Agresif dan blak-blakan cenderung membuat mereka defensif karena merasa diinvasi."

"Yang kita bahas ini Kiera atau strategi perang sih?" sambut Risyad sebal. "Lagian, gue rasa Kiera nggak konservatif kok. Kalau dia beneran nggak lagi patah hati, dia hanya nggak suka kepercayaan diri gue."

"Maksudnya, kesombongan elo?" sindir Tanto.

"Percaya diri itu artinya tahu potensi dan kemampuan diri sendiri, Bro. Bedakan dengan sombong dong. Orang yang menyombongkan diri biasanya malah bersikap seperti itu untuk menyembunyikan kekurangan. Gue nggak punya kekurangan yang harus diumpetin."

Tanto berdecak. "Oke, Mr. Perfect, jadi selanjutnya gimana? Gue yakin lo pasti sudah punya back up plan."

Risyad menyeringai. "Kembali ke cara konvensional yang tingkat kegagalannya sangat rendah."

"Which is?" kejar Tanto.

"Berteman. Bikin dia nyaman. Perempuan pasti lebih mudah jatuh cinta pada teman yang selalu ada untuknya. Ja—"

"Tunggu... tunggu... berhenti di situ." Tanto mengangkat tangan untuk menginterupsi. "Kedengarannya memang rencana yang brilian. Tapi ada plot hole besar di situ. Gimana caranya lo bisa meyakinkan Kiera supaya mau berteman sama elo? Mau ketemu dia saja susah. Kalian sama sekali nggak punya hubungan kerja yang bisa bikin kalian dekat. Gimana ceritanya bisa berteman kalau nggak sering ketemu? Tatapan maut lo nggak bisa dikirim lewat angin atau merpati. Untuk bikin dia nyaman dan terpesona dengan mulut manis lo, interaksinya harus face to face. Kecepatan ngirim data internet mungkin saja sudah mirip dengan kecepatan cahaya, tapi ada hal-hal yang nggak bisa diwakilkan pada kemampuan satelit, Bro."

"Itu juga sudah gue pikirin." Senyum Risyad makin lebar. "Tapi karena ini Kiera, mungkin gue harus sedikit bersabar menunggu hasilnya."

"Bicara soal hasil itu kejauhan sih." Tanto mengibas. "Gue lebih tertarik sama prosesnya. Hasil akhir selalu tergantung pada proses. Jadi, rencana lo gimana?"

"Ibu puas banget sama buku yang ditulis Kiera. Kemarin gue dengan Ibu ngobrol dengan Ayah soal itu. Katanya dia mau menawari Kiera menjadi salah satu content writer di website yayasan. Itu berarti gue bisa ketemu dia lebih sering, kan?"

"Gue nggak yakin orang seperti Kiera mau terikat kontrak jangka panjang," kata Tanto. "Apalagi pekerjaannya sekarang lumayan bagus, kan?"

"Lo kan kenal Ibu gue. Dia punya banyak cara untuk mewujudkan keinginannya."

"Oke, anggap saja Kiera mau. Content writer kan bisa kerja dari rumah. Dia cuman butuh materi untuk menulis aja." Tanto terus mementahkan argumen Risyad.

"Ibu suka mengumpulkan stafnya karena dia pengin membangun suasana kerja yang kekeluargaan. Gue bisa ikut gabung kalau mereka ngadain acara di rumah. Dan gue nggak butuh banyak pertemuan untuk meyakinkan Kiera kalau gue ingin berteman dengannya, bukan lagi ngejar-ngejar dia."

"Dia nggak bodoh, Syad. Kiera pasti bisa membaca strategi lo. Dia mantan wartawan yang terbiasa menganalisis situasi dan sikap orang."

Risyad menepuk dada. "Gue juga nggak bodoh kok. Ini akan berhasil. Percaya deh sama gue."

**

PO masih dibuka ya. Yang belum ikutan, buruan ikutan. Bukunya nggak akan masuk toko karena novel ini diterbitkan secara self publish (SP). Adanya hanya di toko online yang biasa menjual novel-novelku.

Oh ya, ada yang nanyain kenapa proses PO dan distribusi novel lumayan lama? Jadi gini ya, Gengs, karena bukunya terbit SP, jadi buku hanya akan dicetak sesuai  permintaan saat PO. Jadi untuk tahu berapa jumlah buku yang harus disiapkan, harus menunggu proses PO selesai sebelum dicetak. Nggak mungkin dicetak buanyaak kalau permintaan sedikit. Bisa jadi adminnya bangkrut karena berat di ongkos produksi. Sekali lagi, buku hanya akan disiapkan sesuai jumlah PO. Jadi, pastikan kamu ikut PO kalau beneran pengin baca versi cetak yang lebih lengkap daripada versi Storial.

Menanti Hari BergantiWhere stories live. Discover now