Lima Belas

6.5K 1.4K 129
                                    

Risyad muncul sebelum Kiera sempat mengemas dan memasukkan barang-barangnya ke tas. Karena tidak sopan meninggalkan Risyad dan Tanto begitu saja, jadi Kiera memutuskan tinggal sebentar. Ini mungkin kesempatan untuk menegaskan kepada Risyad kalau laki-laki itu hanya akan membuang-buang waktu kalau masih melanjutkan rencana penaklukannya.

"Sori gue telat." Risyad menepuk punggung Tanto sebelum menarik kursi dari meja lain supaya bisa ikut duduk di meja Kiera.

Kiera memang sengaja memilih meja untuk dua orang supaya tidak mengambil banyak tempat saat pengunjung lain datang. Dia tidak mau mengambil risiko dilarang tinggal berlama-lama karena dianggap mengganggu rezeki pemilik kafe.

"Untung aja lo datang sebelum Kiera kabur." Tanto ganti berdiri dan menepuk punggung Risyad. "Gue harus balik ke kantor. Tuan Subagyo bisa ngamuk kalau tahu gue lebih milih jagain gebetan elo daripada mengurus pekerjaan gue. Dia ayah yang luar biasa, tapi sebagai bos, dia kadang lebih menyebalkan daripada Trump waktu di The Apprentice."

Kiera menggerutu dalam hati mendengar obrolan itu. Risyad dan Tanto bicara seolah dirinya yang menjadi topik pembahasan tidak ada di situ.

"Thanks, Bro."

"Nggak ada yang gratis, Bro. Kapan-kapan gue bakal nagih utang. Siap-siap aja." Tanto tersenyum pada Kiera. "Kalau kamu sebel dengan apa yang saya lakukan tadi, sekarang kamu sudah punya pelampiasan kok. Bantai dia sesuka hati. Sisain nyawanya aja. Saya duluan ya."

Kedua orang itu benar-benar konyol. Mungkin mereka memang akan menjadi tipe yang akan dipilih Kiera kalau dia bisa menjalin hubungan normal dengan laki-laki.

"Saya lapar banget. Selain kopi, saya belum makan apa-apa sejak pagi." Risyad melambai pada pelayan setelah Tanto meninggalkan mereka. Gayanya santai. Sama sekali tidak tampak seperti tamu tidak diundang di meja Kiera. "Tadi itu saya baru saja mau keluar makan siang saat Tanto menelepon. Sialnya, jalanan macet banget."

Kiera diam saja. Tidak menanggapi informasi panjang lebar yang disampaikan Risyad. Dia tidak yakin bersikap pasif akan menghentikan laki-laki itu, tapi setidaknya, Kiera mencoba.

"Saya heran kita nggak sering bertemu sejak dulu, padahal kami juga sering nongkrong di sini. Kopi luwaknya enak banget. Lebih enak daripada di tempat lain."

Sesuai dengan harganya, pikir Kiera. Dia belum pernah memesan kopi itu. Pengolahan kopi luwak membuatnya jeri. Dia tidak bisa membayangkan harus menelan minuman yang berasal dari kotoran hewan. Memang sudah dibersihkan, tetapi tetap saja....

"Kamu merasa nggak kalau makin ke sini, pertemuan-pertemuan kita makin dimudahkan? Itu pertanda, kan?"

"Pertanda kalau Jakarta ternyata nggak terlalu luas?" Kali ini Kiera terpancing untuk menjawab. "Atau pertanda kalau tempat nongkrong yang asyik itu nggak sebanyak yang orang-orang pikir?"

"Awalnya saya pikir daya tarik kamu itu adalah penampilan kamu yang alami," Risyad mengabaikan kalimat sarkastis Kiera. "Kamu berbeda dengan kebanyakan perempuan yang hobi banget dandan. Saya bukan penentang makeup, karena tahu mempercantik diri adalah kodrat perempuan. Tapi semakin kenal kamu, saya sadar kalau daya tarik kamu yang paling besar itu cara kamu merespons percakapan seperti ini. Kamu tidak pernah malu-malu atau tersipu-sipu."

Kiera menahan diri supaya tidak berdecak. "Saya akan tersipu-sipu kalau saya tertarik sama Mas. Sa—"

"Risyad saja. Saya lebih suka dipanggil dengan nama saja, tanpa embel-embel 'Mas'. Rasanya lebih akrab."

Kiera tersenyum. "Hubungan kita tidak akan sampai pada tahap saya akan nyaman memanggil nama Mas Risyad seperti itu."

"Kita nggak tahu apa yang akan terjadi nanti, kan?" ucap Risyad keras kepala. "Berubah pikiran itu manusiawi banget."

Menanti Hari BergantiWhere stories live. Discover now