Sembilan

5.7K 1.3K 77
                                    

RASA penasaran itu manusiawi. Biasanya orang lebih penasaran dengan apa yang ada di balik bungkusan, daripada benda mahal yang dibiarkan terbuka di sebelah bungkusan itu. Padahal barang dalam bungkusan itu mungkin tidak ada nilainya.

Analoginya mungkin tidak tepat, atau mungkin apa yang dipikirkannya hanya pembelaan diri, tetapi itu yang muncul dalam benak Risyad setiap melihat Kiera. Saat keluar dari bungalo tadi, dia sempat melihat Kiera dan Alita ngobrol di dalam vila. Dinding bagian depan dan samping vila memang sengaja dibuat dari kaca sehingga akses pada pemandangan pantai lebih luas.

Meskipun tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, dari ekspresinya, dia tahu Kiera sedang tertawa. Raut seperti itu tidak pernah dia temui saat perempuan itu berinteraksi dengannya. Dia memang bisa tersenyum dan tertawa kecil, tapi kesannya sekadar sopan-santun, tidak benar-benar tulus. Dia menjaga jarak.

Risyad sekarang yakin itu bukan trik jual mahal. Pertanyaannya, mengapa seorang perempuan harus menjaga jarak dengannya? Itu bukan sesuatu yang lazim. Biasanya dia hanya perlu berbasa-basi sedikit untuk mendapatkan perhatian seseorang. Bukan bermaksud menyombong, tetapi Risyad tahu dia memiliki kemampuan lebih untuk membuat seorang perempuan tertarik.

"Lo beneran tertarik atau iseng doang seperti biasa?"

Risyad menoleh pada Tanto. Mereka sedang dalam perjalanan menuju pulau Menjangan untuk diving seperti rencana semula. "Maksud lo, Kiera?" dia balik bertanya, meskipun itu sebenarnya tidak perlu.

Tanto berdecak. "Nggak usah pura-pura bego. Kayak gue nggak hafal kelakuan lo aja. Tapi kalau sekadar iseng, lo harus pikir ulang berkali-kali deh. Lo bakal terlibat konflik kepentingan. Gimanapun, Kiera lagi ada kerjaan dengan ibu lo. Profesional sih, tapi kadang-kadang sulit melepaskan sentimen pribadi kalau sudah menyangkut perasaan. Apalagi untuk perempuan. Gue hanya perlu punya satu orang perempuan seperti Nyonya Subagyo dalam hidup gue untuk mengerti soal itu."

Risyad tertawa mendengar cara Tanto menyebut ibunya sendiri. "Tumben lo ngasih ceramahnya ke gue, bukan ke Rakha."

Tanto ikut meringis. "Dia sudah nggak bisa diselamatkan. Jiwanya sudah dijual sama iblis. Lo juga sudah terlalu tua untuk diceramahin. Gue hanya mengingatkan karena lo kelihatan tertarik sama Kiera. Biasanya lo kan hanya tancap gas di awal, lalu kehilangan antusiasme sebelum beneran jadian. Kalau dihitung-hitung, waktunya palingan sebulan atau dua bulan. Waktu itu Kiera pasti masih berhubungan sama ibu lo. Jangan bikin suasana kerjanya jadi nggak enak karena ketertarikan lo yang sesaat doang."

"Seharusnya lo jadi anak Ibu karena pola pikir kalian beneran sama. Kalian selalu menganggap gue jago bikin baper doang, tapi nggak bisa bertanggung jawab menjaga hubungan."

"Bukannya lo memang selalu kayak gitu?"

"Nggak selalu," gerutu Risyad sebal. Biasanya dia tidak terganggu dengan penilaian orang terhadap dirinya. Hal itu malah sering dijadikan olok-olok. Rasanya aneh karena kali ini dia ingin membela diri. "Gue juga pernah punya hubungan yang lama."

"Enam bulan itu memang lama banget," sindir Tanto.

"Itu karena gue belum ketemu orang yang tepat. Akhirnya, pada satu titik, kita akan berhenti memikirkan cara keluar dari suatu hubungan saat kita merasa nyaman, bukannya terjebak di dalamnya. Gue belum pernah merasakan itu."

"Menurut lo Kiera orang yang tepat?" tanya Tanto.

"Butuh waktu untuk menilai orangnya tepat atau tidak, kan?" Risyad membayangkan Kiera dengan sikapnya yang menjaga jarak. "Gue rasa Kiera berbeda dengan kebanyakan perempuan yang gue temui."

Tanto pura-pura menguap bosan. "Maksudnya, yang pernah lo dekatin?"

"Iya, maksud gue itu," Risyad tidak berusaha mengelak. Tanto mengenalnya. Mereka sudah bersahabat entah sejak kapan.

Menanti Hari BergantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang