Satu

17.1K 2.1K 70
                                    

"Gue beneran nggak ngerti apa yang orang-orang cari dengan berjemur. Apa mereka nggak tahu kalau kanker kulit itu kebanyakan dipicu oleh paparan sinar matahari?"

Risyad hanya menyeringai mendengar kalimat Rakha yang berapi-api. Mereka sedang membahas rencana liburan yang belum diputuskan tempatnya.

"Lo ngomong gitu karena kulit lo nggak bersahabat dengan sinar matahari," jawab Tanto dengan nada bosan. Dia tadi mengusulkan wisata laut yang membuat Rakha meradang. "Kalau kadar melanin lo lebih banyak, lo akan menikmati berjemur seperti orang normal lain. Surfing dan snorkeling itu asyik banget."

Kali ini Risyad mengangkat jempol. "Bener. Menyelam itu surga dunia."

"Kepuasannya nggak mungkin sama dengan bercinta," bantah Rakha.

"Susah bicara dengan orang yang otaknya nyempil di scrotum," cetus Tanto sebal. "Semua hal diukur dengan sensasi orgasme."

Risyad tergelak. Perdebatan seperti ini selalu mewarnai pertemuan dengan teman-temannya. Terutama oleh Rakha dan Tanto. Biasanya mereka nongkrong berlima kalau semua anggota kelompok mereka punya waktu luang yang sama. Namun hari ini, Yudis dan Dhyas tidak bisa bergabung.

"Memangnya ada sensasi yang rasanya lebih menyenangkan daripada orgasme?" balas Rakha tidak mau kalah. "Nggak mungkin ada, Man. Apalagi kalau hanya nongkrong di pantai atau melototin koral, anemon laut, dan ikan warna-warni. Lihat bikini minim yang berseliweran di depan mata malah bikin lo penasaran dengan apa yang ada di baliknya."

"Itu karena pikiran lo yang mesum aja!"

"Itu karena gue nggak munafik kayak lo berdua." Rakha menunjuk Tanto dan Risyad bergantian.

"Hei... hei, jangan bawa-bawa gue dong," protes Risyad. "Gue suka lihat bikini bagus yang dipakai orang yang tepat, tapi gue nggak selalu membayangkan apa ada di balik bikini mereka."

"Nonsense!" dengus Rakha.

"Gimana mau dibayangin, kalau bikininya hampir nggak nutup apa-apa? Nggak ada ruang untuk imajinasi."

"Sialan!" sembur Tanto. "Baru juga gue mau muji karena gue pikir lo lebih waras daripada orang gila ini!" dia menunjuk Rakha yang tergelak.

"Man, menikmati pemandangan indah itu normal banget. Perempuan-perempuan yang pakai bikini itu nggak keberatan kok dipandangin. Kalau mereka nggak suka jadi konsumsi mata laki-laki, mereka nggak akan nyaman pakai pakaian minim banget di tempat umum."

"Ini topik percakapan yang bermutu banget untuk makan siang," gerutu Tanto sambil menarik piring yang baru diantarkan pelayan mendekat.

"Masa harus bahas kerjaan juga saat weekend sih?" Risyad mulai menyuap makanannya. "Jadi, kita bisa libur bareng bulan depan?" Dia kembali ke topik awal.

"Kita berangkatnya kamis malam aja, biar gue bisa ngantor dulu. Jadi cuman off jumat. Baliknya minggu sore biar bisa tidur nyenyak sebelum ngantor lagi."

"Kalau waktunya singkat gitu, pilihan tempatnya nggak banyak, To. Paling Bali dan Labuan Bajo doang."

"Jangan Bali dong," Rakha langsung mengerang. "Itu bukan liburan, tapi mudik. Bulan lalu gue baru dari sana jenguk ortu. Gue pengin ke tempat yang bikin penasaran karena belum pernah ke situ."

"Mudik nengokin orangtua dan liburan bareng teman kan beda, Kha. Lagian, meskipun lo lahir dan besar di Bali, lo pasti nggak terlalu sering snorkeling. Gue yakin lo akan nikmatin ini."

"Ya, gue pasti akan menikmati transformasi gue jadi udang rebus setelah liburan bareng kalian," sambut Rakha pasrah. "Lihat tampilan gue yang bule banget kayak gini, gue yakin kalau ibu gue dominan di tempat tidur. Pembuahan gue pasti terjadi saat posisi WOT."

Risyad hampir tersedak makanannya. "Sialan! Gue nggak mau gimana proses pembuahan lo!"

"Anak durhaka!" sembur Tanto. "Tempat lo di neraka pasti udah disiapin khusus."

Rakha hanya tertawa.

Setelah berpisah dengan teman-temannya, Risyad menuju ke rumah orangtuanya. Dia biasanya menyempatkan pulang di akhir pekan, meskipun tidak selalu menginap. Setelah keluar dari rumah, dia merasa terikat dengan apartemennya sendiri. Kediaman orangtua tempat dia dibesarkan tidak terasa seperti rumahnya lagi.

Memang banyak perubahan yang terjadi setelah seseorang beranjak dewasa. Padahal Risyad merasa hubungannya dengan orangtua dan saudara-saudaranya sangat dekat. Namun, kebutuhan akan ruang untuk diri sendiri akhirnya tak terhindarkan.

Dia bekerja di perusahaan keluarga, sehingga hampir setiap hari bertemu dengan ayah dan kakaknya, Thian. Akhir pekan adalah waktu untuk bertemu ibunya yang punya kesibukan berbeda.

Ibunya mengelola yayasan yang aktif memperjuangkan perlindungan terhadap anak dan perempuan, sesuai dengan keahliannya di bidang hukum. Sebelum sibuk dengan yayasan, ibunya adalah seorang pengacara yang disegani karena jarang kalah saat menangani kasus.

"Ibu udah malas cari pembenaran untuk meringankan hukuman orang yang Ibu tahu persis kalau dia salah," kata ibunya ketika Risyad menanyakan alasan ibunya mengundurkan diri dari biro hukum yang didirikannya bersama beberapa temannya. "Mau fokus mengurus orang-orang yang beneran butuh jasa Ibu. Orang-orang yang butuh bantuan, tapi nggak punya akses ke jalur hukum karena nggak ada biaya."

Itu memang pekerjaan mulia. Meskipun tidak terjadi pada setiap orang, Risyad menyadari kalau pertambahan usia membuat seseorang menjadi semakin bijak. Saat semua kebutuhan lahir batinnya sudah terpenuhi, keinginan untuk bergerak menolong orang lain akan lebih terbuka. Ibunya mungkin sudah berada di tahap itu. Apalagi semua anak-anaknya sudah dewasa dan punya kehidupan sendiri.

Ada mobil lain yang tidak dikenal Risyad saat dia memarkir mobilnya di garasi. Mungkin ada kerabatnya yang datang berkunjung.

"Ibu lagi ada tamu, Mas," jawab asisten rumah tangga yang Risyad tanyai saat berpapasan di ruang tengah. "Mereka lagi ngobrol di dekat kolam renang."

Menanti Hari BergantiWhere stories live. Discover now