"Let it be, then."

1K 90 61
                                    

Tersisa dua hari lagi bagi Harry maupun Lily untuk menjalankan misi ke Belgia. Semakin dekat dengan hari yang ditentukan, membuat mereka cukup penasaran akan bagaimana tugas bisa diselesaikan nantinya. Apakah berjalan dengan cara yang mulus–alias tak ada tindakan yang berarti–atau malah berujung fatal. Semua sudah termasuk resiko menjadi agen. Apalagi kedua insan tersebut dikenal betul kemampuannya dalam mengakhiri misi dengan sangat baik. Tanpa adanya bantuan dari Niall sekalipun, sebenarnya mereka mampu menuntaskannya.

Namun setelah mendapat jatah latihan ekstra dan segala persiapan yang diperlukan, Harry dan Lily masih saja merasa gugup sekaligus khawatir. Padahal menjadi salah satu agen rahasia adalah hal yang telah mereka kuasai sejak lama. Kemungkinannya sangat kecil jika Bos Hugo menarik mereka kembali tanpa melihat kualitas dan pengalaman yang dimiliki sedari dulu.

Contohnya saja saat seperti ini. Suatu kejutan tersendiri jika Bos Hugo tidak sungkan mengurus perlengkapan yang dibutuhkan ketika ikut mendampingi agen yang akan terjun ke lapangan. Hal yang jarang sekali terjadi. Tapi Harry dan Lily merasakan sebaliknya.

“Lily, kau tidak mendengarkanku, ya?”

Tak ada jawaban. Yang dipanggil malah melempar pandangan ke belakang punggungnya, memperhatikan gerak-gerik Harry dan Bos Hugo yang tengah membicarakan sesuatu. Rasa ingin tahu kini telah merajai pikirannya.

“Lily, aku berbicara padamu.”

“Oh, maaf, Lou,” jawabnya tanpa penyesalan sedikitpun. Padahal tingkahnya barusan serta merta membuat Louis–yang mengajak wanita itu bicara–harus mengulangi kalimatnya hingga beberapa kali. “Tadi kau bilang apa?”

Louis menghembuskan napas seraya memasukkan kedua tangan ke kantung celananya. “Tidak jadi. Lupakan saja.” Tanpa perlu mengikuti arah mata Lily tertuju, ia sudah tahu siapa yang wanita itu perhatikan. Mendesah pelan, Louis kembali melanjutkan ketika Lily menatapnya intens. “Bukan hal penting. Intinya, kau harus selamat.” Louis cepat-cepat mengoreksi kalimatnya. “Kau dan Harry. Kalian berdua.”

“Aku akan berusaha.”

Lily tersenyum pahit. Ia tahu betul kalau pria di hadapannya itu memang menyimpan perasaan padanya. Lebih tepatnya masih, karena sampai sekarang, cara Louis memandang Lily sama sekali tidak berbeda dari yang dulu. Bukan karena Lily adalah sosok peramal atau semacamnya, apalagi seseorang dengan kepercayaan diri yang luar biasa dan sok tahu, tapi ia menyaksikannya sendiri. Meskipun jelas sekali dalam ingatannya, tak perlu dijelaskan secara rinci bagaimana frustasinya Louis yang ditemukan mabuk berat delapan jam setelah Lily membawa sebuah kabar gembira. Harry melamarnya, dan itu adalah berita buruk bagi pria malang bernama Louis lima tahun yang lalu.

“Kau tahu, terlalu banyak melamun hanya semakin menyita waktumu. Apalagi membayangkan masa lalu.”

Merasa dirinya bagai ditampar oleh kalimat yang terlontar dari orang di sebelahnya, Lily lantas mengubah perhatiannya pada persediaan pistol di sudut ruangan. Ia masih belum sempat menentukan apa saja senjata yang harus dibawanya nanti. Kehadiran Bos Hugo rupanya ikut memberi tekanan tersendiri bagi Lily, pikirannya sedang buntu, namun mau tak mau ia harus cepat memutuskan. Tangan Lily pun hanya asal-asalan meraih pistol di depannya.

“Pistol Corner Shot… hmm, tidak cocok untukmu.”

Lily melirik Louis yang ternyata sudah mengekorinya. Enggan berdebat, ia lebih memilih untuk meletakkan kembali pistol yang barusan dipegangnya dan mengambil jenis lain.

Getaway 》Styles a.uWhere stories live. Discover now