"Always and forever."

918 128 58
                                    

Malam harinya, Harry dan Lily sudah bersiap untuk tidur. Mereka benar-benar menginap di kantor Hugo. Menempati salah satu kamar dari beberapa ruangan khusus yang berada di bawah tanah, tepatnya satu lantai di bawah hall utama. Ruangan tersebut memang sengaja disediakan untuk para agen agar bisa beristirahat bila tidak sempat mencari penginapan. Ya, agen-agen di sana jarang ada yang mempunyai tempat tinggal tetap. Begitulah saking sibuknya mereka. Jika memiliki keluarga, itu adalah sebuah pengecualian.

“Lily, kemari.”

Tanpa menjawab, Lily langsung menghampiri Harry yang tengah duduk di tengah kasur. Ia sempat menggulung ujung lengan dari kaus putih kebesaran yang ia kenakan. Berbeda dengan Harry, kaus serupa yang ia pakai tampak pas di badannya. Bisa dibilang mereka berdua baru saja dapat pinjaman baju dari Louis. Pihak kantor ternyata belum sempat menyiapkan pakaian mereka.

“Polisi menemukan kotak ini dari puing-puing rumah kita. Masih utuh, coba saja dibuka,” kata Harry. Ia menyerahkan sebuah kotak hitam berukuran sedang kepada Lily yang telah duduk bersila di hadapannya.

Lily menaikkan satu alis ketika melihat sebuah kalung di dalamnya. “Kenapa mereka sempat-sempatnya mengambil ini?”

Harry lantas tersenyum sambil menyisir pelan rambut Lily dengan sayang. “Aku yang menyuruh Louis. Lagipula aku ingin kau memakainya terus.”

Aw.” Lily pun ikut tersenyum mendengar jawaban Harry. Jemarinya menyentuh benda kecil berbentuk simbol infinity yang menghiasi kalung tersebut.

Harry seketika mengeluarkan benda itu dari kotaknya sebelum memegang kedua pundak Lily. “Berbaliklah.”

Lily menurut dan mengangkat rambutnya. Ia biarkan Harry melingkarkan rantai kalung pada lehernya, kemudian mengaitkan kedua ujungnya menjadi satu. “Jangan pernah dilepas lagi, oke?”

Always and forever,” tunjuk Lily pada kalimat yang tercetak jelas di kotak kalung yang ia pegang.

Harry menghela napas, menarik Lily agar lebih mendekat lalu menyandarkan dagunya pada pundak istrinya itu. “Besok Niall datang,” gumamnya.

“Aku tahu.”

Harry sedikit cemberut. “Apa kau senang? Karena aku tidak.” Ia mendesah frustasi. “Jangan tertawa, aku serius,” ucapnya lagi ketika Lily tertawa geli, seakan meremehkannya.

“Dia sahabatku, sudah pasti aku senang,” timpal Lily seraya memainkan jari tangan Harry yang tengah melingkar di perutnya.

Laki-laki itu terdiam sebentar. Namun tiba-tiba ia melepas pelukannya dengan gusar. “Sudah ya, aku mau tidur.”

Hey!” Lily heran dengan sikap Harry yang mendadak bad mood.

“Kau marah?” tanya Lily lagi, mendapati Harry dengan mata tertutup sehabis menarik selimut hingga melapisi setengah badannya.

“Tidak, tidak sama sekali,” balasnya sarkatis.

“Yasudah.” Lily tadinya berniat menjelaskan maksud perkataannya barusan, tapi tidak jadi karena rupanya ia lebih memilih untuk tidur. Ia merasa cukup lelah hari ini.

Memposisikan badannya di samping Harry, Lily pun berbisik, “goodnight.” Lampu di meja nakas ia matikan. Akibatnya keadaan kamar yang remang sekarang menjadi gelap gulita.

Tak lama kemudian sebuah lengan memeluknya erat dari belakang. “Maaf,” bisik Harry.

Lily hanya tersenyum simpul, menutup mata, dan akhirnya tertidur pulas.

*

Getaway 》Styles a.uWhere stories live. Discover now