Saudade

78 14 32
                                    

Akibat ketukan keras dari pintu kamar indekos, tubuhku tersentak bersamaan dengan kedua pasang netra yang seketika terbuka hingga binasalah mimpi indahku pagi ini dari palung ilusi. Lantas saja aku berdecak, dalam hati memaki pemilik suara yang begitu aku kenali siapa. Ialah Abidzar, teman seperjuanganku.

Kemudian aku beranjak dari ranjang untuk membukakan pintu. Seusai pintu berdaun satu itu terbuka, nampaklah sosoknya dengan wajah penuh kebahagiaan. Aneh, tidak biasanya. Sehari-hari, Abidzar tiap pagi akan menekuk wajah, lalu merenggut seraya mencak-mencak sebab dunia perkuliahannya yang sangat hectic kepadaku.

"Ya Allah, Andreas ... demi apa engkau baru bangun?" Dan kalimat yang ia tuturkan juga sangat asing untuk telingaku. Aku mengernyit seraya memeriksa suhu tubuh di keningnya. Setelah 'ku periksa, ternyata suhunya normal, dia tidak demam. Lalu, gerangan apa yang membuat seorang Abidzar Sutedjo gembira?

"IP lo naik?" tanyaku langsung tanpa ingin menjawab pertanyaan basi Abidzar barusan. Dia tidak buta pun tidak minus, tentu dia dapat melihat bareface-ku dan menyimpulkan sendiri.

Abidzar menggeleng cepat. "Itu seperti mustahil sayangku." jawabnya sembari menghela napas.

Aku mengernyit seraya menyilangkan kedua tangan di depan dada tatkala melihat perlakuan Abidzar yang kini berkali-kali berdeham juga tak lupa dengan alisnya yang bergerak naik.

"Lo gak lupa tanggal jadian lo sama Noura, masa, iya, lo lupa sama hari ini? Ini lebih penting dari anniversary lo."

Sesaat setelah kalimat tersebut berhasil terserap sepenuhnya, lantas saja aku mengerjap-erjapkan mata seraya memutar otak, mengingat perihal tanggal berapa sekarang. Tersadar, barulah aku menjentikkan jari yang langsung ditanggapi dengan pekikkan senang oleh Abidzar.

"Alah ... pantesan nyamperin gue gak pake marah-marah. Ada mau-nya, toh." ujarku.

Abidzar tekekeh. Satu tangannya kini bergerak untuk menggaruk tengkuknya. "Ayo jajan, Re. Gue laper, ayo cepetan. Mandi!"

Seperti tidak ada dosa dia seenak jidat menyuruhku membayarkannya makan, aku saja sedang fakir-fakirnya, uang bulananku sudah nyaris habis, sial. Ah, memang, ya, hari ulang tahun itu semakin lama semakin menyebalkan jika begini; dipaksa mentraktir beberapa teman, kadang pula disiram dengan hal menjijikan oleh mereka.

"Noura bisa ilfeel sama lo kalo cowoknya jorok begini, ditambah kalo pelit, fix dia pasti langsung mutusin lo!" ancam Abidzar kepadaku sambil memasang tampang paling tengil dari wajahnya. Namun, meski begitu tentu kalimat tersebut tak berarti bagiku, aku teramat tahu bila gadisku tidak begitu.

Lantas saja aku berdecak. "Pacar gue gak gitu. Dia bucin banget sama gue, sorry-sorry aja, nih."

Aku kira, setelah aku mengucapkan kalimat yang membuat dia iri, Abidzar akan marah dan kembali memaki diriku seperti biasa. Namun, kali ini berbeda. Yang tercipta kini justru ialah suatu tepukan tangan dan pecahan gelora tawa darinya. Karena itu, aku tersentak untuk kali kedua di pagi ini.

"Berarti kalo dia bucin sama lo pasti dia bakal dateng ke sini sambil bawa kue atau seengaknya makanan buat ngerayain ulang tahun!" katanya dengan suara yang begitu membahana.

Aku terdiam sesaat, tengah berpikir. Apa yang dikatakan Abidzar ada benarnya, itu kemungkinan paling mungkin yang akan terjadi hari ini. Kepalaku bergerak pelan, mengangguk-angguk. "Bener juga ... "

Abidzar terlihat senang. Tangannya terentang, seperti berniat memelukku namun tentu aku menghindar lebih dulu sebelum betulan ia peluk. Geli sekali.

"Ah lo gue peluk gak mau, buat hadiah ulang tahun itu. Bodo deh, gue cuma mau kasih tau betapa beruntungnya gue punya temen kayak lo, thanks! Akhirnya pagi-pagi gak sarapan mie instan lagi. Coba, Re, cek hp lo, siapa tau si Noura kasih ucapan atau tanda-tanda pengen kesini."

Fiksi LaguWhere stories live. Discover now