38; Clandestine

4.3K 738 115
                                    

"Aku rasa kamu tidak perlu cemas bila ingin menjelaskan apapun padaku."

Bulu kuduknya mendadak merinding. Sejak ia menjemputnya dari rumah Hyora, si wanita cuma tersenyum tipis dan melelapkan diri selagi Jungkook menyetir. Lantas kini Hyoji terbangun dan melontarkan kalimat dengan raut tanpa beban seolah sudah menyiapkan diri dari jauh-jauh hari.

Mengikuti Hyoji masuk ke dalam rumah, Jungkook masih terdiam memikirkan respons yang sekiranya tidak membuat kepala Hyoji begitu rumit. Untuk saat ini, dalam klimaks hidupnya yang membuatnya ngeri, Jungkook harus lebih berhati-hati dan bersabar. Sebab rasanya bila ia salah melangkah sedikit saja, keharmonisan hubungan ini di ambang keterpurukan.

"Aku tidak akan pergi hanya karena perkara masa lalumu, Jung," urainya sebelum Hyoji memasuki lingkup dapur.

"Lagian juga aku tidak akan membiarkanmu pergi apapun yang terjadi," suaranya ia keraskan agar sampai ke telinga Hyoji.

"Aku hanya mencoba membantu menenangkan pikiranmu agar berani jujur padaku, Jeon."

Jungkook meletakkan tasnya di atas meja. Mendesah pendek karena merasa tersindir. Benar, selama ini ia kurang berani membicarakan hal yang sekiranya akan memicu sakit hati bila dibahas lagi. Ia beranggapan masa lalunya akan ia selesaikan tanpa perlu melibatkan Hyoji dan tetap membuat wanitanya aman. Tak peduli selama ini kepalanya nyaris pecah karena menahan semuanya seorang diri. Menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang kemudian tak menemukan jawaban.

Jungkook mendekat, menyandarkan bahu pada bingkai pintu dapur. "Meskipun mungkin akan terdengar menyakitkan untukmu?"

Hyoji mencuci wortel, kemudian beranjak mengirisnya. Ia tak sempat menatap Jungkook tetapi tetap menyahut tanpa berat, "Kamu pernah bilang, meski nanti kita saling tahu, mari tidak saling meninggalkan. Seperti mencintaimu, artinya aku harus menerima segala hal yang terjadi pada masa lalumu, kan? Selama kamu tidak sengaja menyakitiku lagi, Sayang."

Stagnan, darah mengalir deras dan membuat wajahnya memerah. Mencintai? Sayang? Ah, sial, kenapa hari ini wanitanya manis sekali? Jungkook buru-buru melarikan diri ke ruang TV sebelum Hyoji membuatnya terlena lagi. Tidak, cukup untuk hari ini jantungnya berdebar secara berlebihan.

Sementara Jungkook melunturkan letihnya pada sandaran sofa dan menatap ke arah dapur menanti istrinya kembali. Cukup lama, sampai suara blender agak terdengar dan ia memutuskan untuk memejamkan mata. Meski tulang pundak dan lututnya terasa sedang dipukuli, ia tidak berniat tidur sebelum membersihkan diri. Well, ia hanya merenggangkan otot kepala dan menetralkan segala hal yang bekerja di luar kendali.

Kendati ingin sekali mendiami pikiran, ia justru teringat perkataan Hyoji. Istrinya banyak berubah, bukankah itu artinya Hyoji benar-benar telah menerima dan mempercainya? Kalau begitu, tidak ada alasan untuknya meragu lagi.

Detak sepatu flat milik Hyoji menjadi pertanda bahwa ia harus membuka mata. Menatap presensi istrinya dengan segelas jus yang disodorkan padanya.

Dahinya mengernyit sebelum menerimanya, tumben sekali. "Jus wortel? Apa kamu sedang menggodaku karena tadi Hyora bilang aku seperti kelinci?" kelakarnya, kemudian langsung meminumnya.

"Jus wortel ampuh untuk mengatasi pegal-pegal. Tadi kamu sempat merintih badan pegal saat sedang mengemudi, kan?"

Hyoji duduk di sampingnya, menyaksikannya menghabiskan jus wortel dalam sekali tenggak.

"Bukankah artinya kamu menolak memijatku?" selorohnya seraya meletakkan gelas di atas meja.

"Menyebalkan sekali, sih. Sudah diperhatikan malah bicaranya aneh-aneh begitu." Bibir Hyoji mengerucut sebal, menggoda Jungkook.

𝑰𝒏𝒏𝒆𝒓𝒎𝒐𝒔𝒕Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang