55; Madly / Epilogue

4.6K 440 89
                                    


Sejak semalam angin menjerit-jerit serta rintik hujan memukuli kaca jendela. Cuaca saat itu lebih dingin dari biasanya seolah badai dari kutub utara sedang menyerang Seoul yang sibuk dan ... kacau. Tetapi mungkin kacau yang barusan adalah definisi bagi kedua hati yang terpelanting jatuh secara sengaja.

Hyoji barangkali sudah menyiapkan perpisahannya sebaik mungkin. Di saat-saat sebelum ia tak lagi melihat Jungkook, Hyoji menyempatkan diri guna meluapkan segala perasaannya. Menunjukkan bagaimana sosok lelaki itu telah menjadi bagian paling penting selama hidupnya, telah menyatu sebagai pahit-manisnya dunia yang tak terkendali ini.

Mulanya Hyoji tak pernah menduga bahwa berpisah dengan Jeon Jungkook akan menjadi kegetiran nyata. Namun, tetap, manusia memiliki kelemahan dalam setiap rencananya. Hyoji akan menenangkan diri dan tinggal di sebuah pedesaan di Daegu. Ia telah menyewa sebuah tempat untuk membuka klinik kesehatan dan akan menyembuhkan dirinya bersama mereka. Ia telah menyiapkan semua ini dan membicarakannya dengan Jungkook.

Secangkir teh kamomil dihidangkan. Bersama riuh udara yang menggila, momentum saat ini menjadi lebih dingin dan buat tubuhnya menggigil. Sementara di sampingnya, Jeon Jungkook sedang menggosokkan telapak tangan lalu menangkup kedua pipi Hyoji. “Hidung kamu memerah,” katanya. Kedua irisnya memandang cemas. “Cuacanya sedang tidak bagus, kamu yakin akan pergi hari ini?”

Hyoji meraih telapak tangan Jungkook yang hangat, merasakan seolah kehangatan itu berasal dari dasar hatinya yang terdalam. “Prediksi cuaca nanti siang akan lebih kondusif. Aku bisa pergi saat itu.”

“Kalau prediksi cuacanya meleset? Tahu-tahu bakal hujan seharian, bagaimana?”

Hyoji tertawa pelan. “Aku akan di sini dulu, sebab kamu jelas tidak akan mengizinkanku pergi di saat cuaca begini.”

“Aku memang tidak pernah mengizinkanmu pergi,” kelakarnya. Sebisa mungkin Jungkook tak bersikap mengekang. “Iya, aku tidak tenang kalau kamu pergi sementara di luar badai semakin kencang.”

Topik kepergian sudah dibicarakan lebih dari lima kali, namun masih, ia tak bisa meredakan kepiluan yang menyabeti ulu hatinya. Kendati selalu, Jungkook menyebutnya bahwa ini adalah jeda dari sebuah kisah. Seseorang membutuhkan waktu untuk mencerna semua perasaannya yang bercampur membingungkan. Jadi di sana, tak terhitung sudah berapa lama Jungkook menatapnya—tentu pandangan seorang lelaki yang tak yakin bakal baik-baik saja dan meminta sedikit harapan. Hyoji tak bisa mengelak jika ia teramat ingin berada dalam rengkuhannya.

Seolah mengerti, seolah merasakan hal serupa, Jeon Jungkook meraih seluruh raga Hyoji untuk ia simpan dalam rengkuhan. Hyoji melingkarkan tangannya pada punggung lelakinya serta mengeratkan dekapannya, membagi rasa sakit serta dentum-dentum yang menggila. Rasanya lebih padat, berat, serta menyesakkan dada.

“Jika suatu saat kamu ingin mengunjungi rumah ini, ingin merasakan bubur ayam buatanku lagi, atau barangkali ingin mengunjungi pemakaman bayi kita,” Jungkook terhenti. Menatap langit-langit rumah yang seolah bakal runtuh menimpa mereka berdua. “Datang saja, ya. Aku akan tetap di sini. Menanti kamu.”

Hyoji tidak yakin bagian mana dari ucapan Jungkook yang membuat jantungnya terpelintir nyeri. Atau barangkali dari sikap lelaki itu yang mendekapnya teramat erat. Ia mendengar suara Jungkook meredup seolah baru saja saklar kehidupannya dimatikan saat mengungkap, “Aku mencintaimu, Ji. Aku merindukanmu. Entah bagaimana semua ini akan berlalu, aku merasa setiap harinya akan lebih berat tanpa kamu.”

“Tetapi karena kamu bilang kamu akan baik-baik saja dengan keputusan ini, aku akan percaya dan menerima. Aku akan merelakan kamu untuk berhenti menatapku lagi.” Napas lelaki itu jadi terdengar berat dan gemuruh. Hyoji sendiri merasakan seolah tubuhnya runtuh kala Jungkook mengusap punggungnya sarat kerinduan. “Jika nanti aku melihatmu di suatu tempat, aku akan menyapa dan kamu harus sepenuhnya baik-baik saja. Jika tidak, aku akan membawa kembali ke rumah ini.”

Hyoji mengangguk, melepaskan perlahan dekapan itu. Menatap kedua iris rusa tersebut secara tulus dan dalam. Mengisi sela-sela jemari lelakinya dan menggenggamnya. Meletakkannya di depan dada. Membiarkan Jeon Jungkook merasakan betapa jantungnya seolah hanya berdetak karenanya. “Aku akan mencoba baik-baik saja karena kamu yang meminta. Jika memang nanti kita bertemu di suatu tempat, aku akan sangat bahagia karena diberi kesempatan untuk melihat satu-satunya orang yang sangat ingin aku temui nanti.”

Jungkook tak ingin menyimpan kalimat itu sebagai janji yang memupuk harapannya. Namun ia percaya bila Tuhan telah menyaring takdirnya sebaik mungkin.  “Maafkan aku ya, Ji. Maafkan aku dengan segala kekurangan ini. Aku menyesal karena tidak bisa meyakinkanmu untuk tetap denganku di sini.”

“Jung—” Hyoji merana. Menahan luapan panas di netranya tak tumpah saat ini juga. “Nanti saat aku sudah tidak lagi berada di kedua matamu, jangan mencemaskan apapun, ya? Aku sudah memaafkan semuanya. Aku akan menerimanya dan beristirahat sejenak. Terima kasih karena kamu tidak pergi di saat aku hancur, tidak mengekang di saat aku sesak. Terima kasih sudah menjadi lelaki yang luar biasa dalam hidupku.”

Jungkook nyaris ingin meneteskan air matanya, namun di sana, mengerti lelakinya sama merananya, Hyoji menggeleng—memintanya untuk menahan semua itu sampai langit kembali berawan untuk mengantarkan mereka pada perpisahan.

Siang itu masih sama dinginnya, masih sama beratnya. Selama sopir menunggu dan memasukkan koper ke dalam bagasi, Jungkook sibuk memakaikan Hyoji minyak kayu putih dan memasangkan sarung tangan beserta syal wol miliknya. Jungkook memastikan Hyoji tetap hangat selama perjalanan. Lalu untuk kehangatan yang lain, Jungkook merengkuh tubuh wanitanya kuat-kuat dan menghirup aroma tubuh yang akan terus melekat pada dirinya.

Dalam rintik hujan yang menggoda, Hyoji berjingjit dan menarik bahu Jungkook. Menyatukan bibir mereka yang merekah hangat. Lantas Jungkook menarik pinggul wanitanya, merengkuh kuat selagi ia diberi kesempatan buat memagut bibir semanis madu. Seolah ini benar-benar kesempatan terakhir dan Jungkook tak mungkin menyia-nyiakan itu, ia mendominasi Hyoji dan menarik wanitanya kembali ke dalam rumah dan membiarkan si sopir menunggu beberapa waktu.

Di dalam kamar yang menjadi saksi bahwa koneksi mereka seakan terputus dengan dunianya, Jungkook membaringkan Hyoji dengan pelan, dengan napas yang memburu cepat dan kedua netra yang saling menatap sulit. Hyoji tak pernah merasa setertarik dan seterbakar ini sehingga secara sadar telah menyerahkan tubuhnya untuk ditanggalkan seluruh pakaiannya. Pada momentum ini, Hyoji tak tahu sudah segila apa isi kepalanya sampai tak sanggup memikirkan apapun tatkala berusaha menahan agar bibirnya tak terbuka sewaktu Jungkook mengelus dan menekan secara perlahan dengan deru napas panas yang seolah memanggang mereka di sana.

Jungkook yakin pipi dan telinganya memerah ketika melihat serta mendengar Hyoji yang mencoba menahan suaranya dengan meremat punggungnya yang telah berpeluh. Mereka tak mampu merasakan sedingin apa cuaca di luar, sebab kini tubuh keduanya melebur oleh suhu badan yang tinggi. Jungkook merasa gugup setengah mati kala menemukan peroman wajah wanitanya mematang setelah tubuh mereka seolah diserap kuat-kuat secara hebat.

Lantas dengan deru napas yang masih mengepul hangat dan debar jantung yang menghentak-hentak kencang, Hyoji beringsut di samping lelakinya dan merasakan jemarinya digenggam erat seolah ia telah kehilangan seluruh tenanganya untuk membalas genggaman tersebut. Lalu dalam sekon yang terlampau mendebarkan, ia yakin telah kehilangan seluruh kewarasannya ketika lagi-lagi dibuat tak berdaya saat Jungkook bersuara rendah, “Sepertinya kamu tidak bisa pergi hari ini, kamu sangat kelelahan, Hyoji.”


࿇ᴇɴᴅɪɴɢ࿇

𝑰𝒏𝒏𝒆𝒓𝒎𝒐𝒔𝒕Onde as histórias ganham vida. Descobre agora