31; The Same

4.6K 823 89
                                    


Ranting kecil terhempas rapuh, tergeletak bergumul dengan dedaunan ringkih di tanah gersang. Memang sudah masanya dilepas. Terinjak tanpa belas kasih seolah tak pernah ada pun cuma dekorasi. Langkah manusia begitu tegap menopang batin yang layu. Yang bernyawa mengunjungi yang mati, dengan dalih separuh hatiku terpeluk tanah. Bunga beraroma makam diletakkan di atas pualam beridentitas separuh hatinya. Mengantar doa terbaik ke langit tanpa tahu yang mati menjadi bintang atau gentayangan. Terrbelai tangan Tuhan atau diperbudak setan. Sesungguhnya ia tengah diadili. Dan takkan terkubur sia-sia bila semasa hidupnya mulia.

Shin Byuri alami kemalangan dari kerakusan manusia yang membabi buta. Cinta yang mendusta pun akhir hidup yang nahas. Tetapi baginya, tiada hal yang lebih menyakitkan daripada harus meninggalkan putri semata wayangnya berdiri sendiri dengan luka dan langkah tertatih.

“Aku hidup karena ibu.” Jemarinya mengukir abstrak di atas nisan seraya tersenyum. Melupakan sejenak beberapa tragedi kelam pada masa lampau dan kejadian baru-baru ini yang membingungkan hati. Demi orang yang paling mulia baginya, ia tak boleh memikul duka begitu tiba di sini. “Setidaknya untuk mengabulkan permintaannya. Aku harus bertahan dan melakukan yang terbaik sampai hari kematian itu tiba.”

Jungkook ikut berjongkok di samping wanitanya. Tak banyak yang dikatakan Hyoji pada makam ibunya. Ia cuma datang untuk menyampaikan kerinduan. Tak ada harapan dan doa manja yang terurai dengan sendu. Anehnya, wanita itu seolah pasrah dengan segala hal. Ia bahkan tak memperdanakan sang suami.  Tak masalah, Jungkook bisa memperkenalkan diri sendiri. Ia membaca nama mertuanya yang tergarit tegas dan merapalkan doa dalam hening seraya memandang tatapan istrinya yang begitu teduh dan lembut seolah menunjukkan Shin Hyoji yang amat mencintai ibunya.

Terlampau besar cintanya terhadap orang tua, sampai ketakutan itu gagal bersembunyi di balik ketegarannya selama ini. Sayangnya, topeng Hyoji kali ini begitu rekat sampai tiada yang mampu menebak. Ia mengadu dalam hening, tentang perihnya batin dan derita yang tiada sudah. Banyak andai  yang terpaksa dilempar jauh agar ia lebih mengerti bahwa hidup memang telah digariskan sesuai jalan mana yang ia pilih. Tetapi untuk perkara masa lalunya, bisakah ia membela diri bahwa ini bukan jalan yang ia pilih? Bahwa ini bukan takdir yang ia mau.

Melenyapkan perasaan sakit yang saling berkecamuk dan segala hal terkait insiden semalam. Jungkook ingin memeluk raga di sampingnya tanpa ragu. Tanpa peduli sebuah penolakan. Tanpa henti seperti pagi tadi tatkala Hyoji membuka mata. Bagusnya, si wanita tak menanyakan kapan ia datang dan kenapa memeluk sebegitu eratnya untuk jangka yang cukup lama dari biasanya. Baiknya lagi, Jungkook tak curiga kalau Hyoji telah melakukan peran terbaik dalam sebuah permainan beepura-pura. Ia berhasil memanipulasi segalanya sampai Jungkook yakin istrinya tak tahu perihal semalam. Sebab ia yakin, Jungkook akan datang sebelum semuanya terlalu jauh.

“Aku tidak akan pergi sendiri lagi, Jung.”

Mendadak berbicara, membuat Jungkook terkesiap dan mengangguk cepat. Namun ia sadar, ada ketakutan yang teredam pada nada bicaranya dan keraguan pada ekspresinya. Jungkook yakin Hyoji telah memikirkan sesuatu yang sensitif diungkapkan.  “Kamu tahu kalau mata bisa berbicara?”

Hyoji melempar pandang pada makam agar Jungkook tak mencoba membaca dirinya. “Iya, tahu. Dan aku adalah apa yang kamu lihat. Mari kita buat mudah saja, aku akan mempercayaimu dan kamu tidak boleh menanyakan apapun lagi.”

Pada akhirnya imbang. Meski ia telah dipatahkan, tak membuat jalannya terhenti untuk mencari tahu. Barangkali Hyoji lupa, suaminya keras kepala dan harus mendapatkan apa yang ia mau. Kendati terasa tak yakin, Jungkook mencoba membuat Hyoji percaya saat berkata ragu, “Meski nantinya kita saling tahu, mari tidak saling meninggalkan.”

Sebab telah sama-sama jatuh dan sulit menyelamatkan diri. Terkadang menerima dan memaafkan adalah keputusan akhir bila tak ingin terbengkalai lagi.  “Ayo pulang, biar kubantu menghilangkan kantung matanya.” Hyoji mengalihkan topik dan mengubah cuaca secara drastis.

Lelakinya mengangguk, meraih jemari sang istri dan berdiri. Jungkook berjalan di depannya untuk menuntun Hyoji. Ia terus menggenggam tangannya erat, untuk antisipasi saja. Hyoji terlihat kesusahan berjalan menurun sampai nyaris tergelincir andai Jungkook tak segera merengkuhnya. Hyoji bahkan sempat memekik lirih karena terkejut, ia berpegangan pada bahu kekar suaminya.

Tersengal, ia berhenti sejenak. Jungkook mengusap punggungnya pelan dan berujar lirih nyaris seperti berbisik, “hati-hati. Pelan-pelan saja, Ji-yaa.” Dengan suara lembut yang bikin jantungnya berdesir hangat.

Hyoji kembali dibawa menurun. Kakinya terasa nyeri namun ia mencoba untuk tetap berjalan dengan biasa dan tiba di jalanan datar menuju mobil yang diparkir di bawah pohon. Jungkook menghentikannya sewaktu Hyoji hendak masuk ke dalam mobil.

“Sebentar saja.” Ia mendudukkan istrinya di atas kap mobil. Jungkook itu selalu membawa kejutan, ia kira kali ini lelaki itu akan berbuat aneh-aneh. Tetapi tidak, ia meraih tungkai kanannya dan mengurut pelan dari bawah dengkul sampai pergelangan kaki. “Aku pernah ikut lari jarak jauh, kakiku sering kram waktu latihan dan ayah biasanya memijatku begini.”

“Menang, tidak?”

“Aku benci kekalahan.” Jungkook mendongak, tersenyum singkat dan kembali memijat kakinya. Sampai di pergelangan kaki, ia menekannya.

“Aw!” Hyoji spontan meringis dan memegang lengan Jungkook.

“Apa sakit?” Ia berhenti sejenak tatkala Hyoji mengangguk dengan raut ingin menangis. Lantas berakhir dengan mengusap dan meniupi kakinya.

“Kakimu terkilir, kita lanjutkan di rumah saja,” katanya. Sebelum sempat Hyoji turun, tubuhnya telah dibopong masuk ke dalam mobil.

“Memangnya tidak berat, Jung?” tanya Hyoji setelah dirinya telah duduk manis di samping kemudi. Jungkook menggeleng seraya memasangkan safety belt, sementara si wanita meloloskan satu tawa pelan begitu dengar napas lelakinya tersengal. “Ketahuan berbohong.”

”Lumayan. Tetapi tidak mungkin menggendongmu di belakang karena kamu sedang hamil. Aku akan giat berolahraga lagi agar—”

“Jungkook.”

“Hm?” Menyahut pelan, mencemaskan air muka istrinya yang mendadak berkabut.

Lantas tercengang bukan main saat jemari Hyoji menarik tengkuknya dan mencium bibir Jungkook lembut. Atmosfer mendadak berubah seketika. Panas dingin dalam waktu yang sama. Ia mematung seraya menikmati Hyoji melumat bibirnya. Dan tiba-tiba saja jantungnya terasa diremat saat netra Hyoji menatapnya intens waktu berkata, “aku pernah bilang padamu kalau aku telah hancur, kan? Maka kamu tidak boleh meninggalkanku karena kita sudah sama-sama tahu.”

Jantungnya dihantam gada. Benar praduganya. Lantas kini rahang Jungkook mengeras sebab tak mampu menyahut meski rasa pahit memenuhi rongga mulut. Lelaki mana yang tak murka istrinya dijamah orang lain? Tetapi sialnya ia malah bungkam, padahal perlu menyelamatkan. Yoongi benar, bahwa dirinya telah menambah masa penderitaan istrinya.

Terkadang takdir seperti kebetulan-kebetulan yang sering kita jumpai. Potongan waktu yang saling bertaut dan memiliki arti. Beberapa momentum terpecah belah yang bila telah bersatu akan menimbulkan ledakan besar. Seperti pernikahannya dengan Jeon Jungkook. Hanya saja, beberapa fakta yang tersimpan dari beberapa pihak belum sepenuhnya naik ke permukaan. Untuk saat ini agaknya baru beberapa petasan yang meimbulkan ledakan kecil bila dilempar.

Mari menunggu, kapan tiba masanya granat terlempar dan membuat segalanya hancur tak bersisa. Pun mari saksikan, proses terbongkarnya rahasia yang membinasakan cinta.

𝑰𝒏𝒏𝒆𝒓𝒎𝒐𝒔𝒕Where stories live. Discover now