• Ao the Despair •

1K 112 5
                                    

“Menemukanmu kembali saja sudah membuatku sangat bersyukur.”
Aohitsugi Samatoki, 25 tahun.

..

...

...

Jika batang rokok itu tidak memendek, pria itu tak akan berhenti menghisapnya hingga asap-asap bak berwarna kabut itu memenuhi ruang udara di sekelilingnya.

Dimatikan kasar puntung tersebut yang setelahnya terdengar helaan nafas berat seperti sudah lelah akan sesuatu yang tak terpecahkan di ruang kepalanya.

Satu nama yang selama ini selalu menjadi teka-teki dalam hidup Aohitsugi.

Si anak laki-laki dengan mata dwiwarna, Yamada tertua.

Sudah dua tahun berlalu, sementara Samatoki hanya bisa memandangi foto dirinya dan Ichiro dalam satu frame yang masih dengan kehampaannya, ditambah lagi ... ia terlihat seperti kakek tua yang merindukan cucunya.

Itu hanya permisalan ... Samatoki tidak setua itu meskipun surainya selalu diasumsikan sebagai kepala putih/ubanan pertanda sudah tua. Memang tua tetapi tidak akan terlihat begitu melihat tingkahnya yang seperti anak SMA saat uring-uringan, berkelahi dan adu bicara.

Kembali lagi pada Samatoki-san.

Setiap kali ditatapnya wajah Ichiro dalam foto (satu-satunya benda yang ia miliki dan berkaitan dengan Ichiro) tersebut, perasaan hampa jelas sudah jadi asupannya, namun ... perasaan campur aduk lainnya juga ikut bersamaan muncul. Sampai ia sendiri tak tahu lagi harus melakukan apa.

Berbagai cara sudah dilakukannya selama dua tahun kosong (baca: tanpa Ichiro) tapi tak menghasilkan informasi dimana Yamada tertua itu berada bahkan kedua adiknya, seolah mereka bertiga ditelan bumi bulat-bulat. Lalu tak ada lagi orang yang sekiranya Samatoki raih untuk dimintai keberadaan 3 bersaudara itu dan kebanyakan dari mereka selalu menjawab 'tak tahu Yamada tersebut' atau 'maaf aku saja tak tahu siapa dia/mereka' bagaimana Samatoki tidak hopeless? Sudah banyak orang yang ia tanyai: mulai dari rekan divisinya, bawahannya,  dan orang-orang yang ia bayar dengan jumlah yang bisa dibilang tidak sedikit untuk menemukan Yamada bersaudara itu tetapi tetap saja tak satupun yang tahu.

Lalu Samatoki hanya pulang membawa angin kosong dan sesuatu yang sama sekali tak ada feedback seperti yang diharapkannya.

• • “ ......... ” • •

“Pasti Yamada-kun lagi 'kan?”

Decakan kesal terdengar, merasa tertangkap basah oleh Riou yang menebak benar apa yang di lamunkan Samatoki.

Meski begitu ... Samatoki tidak bisa senaik pitam jika pelaku yang mengira isi pikirannya adalah Riou. Mungkin jika itu Jyuto, demi speakernya Jakurai sensei, sumpah serapah dan berbagai macam ocehan kasar akan keluar. Jadi, Samatoki hanya menghela napas lagi dan lagi.

Ha'i” Hanya itu responnya, entah kenapa ia jadi tidak seperti biasanya.

Riou sendiri juga tidak ambil pusing, ia tipe yang netral dengan keadaan apapun, jika Samatoki mengoceh atau mengeluh dengan topik 'Sang Dwiwarna, Ichiro' pria ini tidak keberatan dan akan menyimak dengan baik, jika perlu akan memberikan saran bila memungkinkan. Tapi Riou lebih sering memberikan dorongan agar Aohitsugi itu tak terlalu berusaha keras untuk menemukan Ichiro dan kata yang selalu diucapkan Riou berulang kali pada Samatoki 'Kau akan menemukannya secara tidak sengaja, tidak saat ini tapi nanti pasti.' sampai Samatoki bosan tetapi ia juga tidak bisa protes atau menyinggung perkataan tersebut lalu memilih melupakannya bagai angin lalu.

“Kau lapar? Aku bisa membuatkan sesuatu ....” Riou lagi, hebat juga ... biasanya Samatoki akan berisik tetapi saat ini ia terlihat tenang namun dengan isi pikiran yang penuh.

Dan Riou jadi sering membuka pembicaraan.

Samatoki ngeri duluan, “Tidak usah, aku tidak lapar, lebih baik jika itu kopi ... Aku mau secangkir.” Tolaknya halus, Samatoki sudah punya prediksi tersendiri tentang Riou jika pria itu memasak.

Perutnya tak akan sanggup mencerna masakan random ala pria survival life style itu.

Wallflower; Samaichi Where stories live. Discover now