"Kamu tiba-tiba sakit setelah menghadiri pernikahan mantan kamu. Wow! Apakah ini yang disebut the power of kondangan mantan." ucap Bian sambil tersenyum mengejek.

"Dok mulutnya tolong dikondisikan." ujar Hanin.

"Saya begini tuh gara-gara Dokter. Saya kekurangan darah karena menghadapi nyinyiran yang sering keluar dari mulut Dokter." lanjut Hanin.

Bian mendengkus kesal mendengar penuturan Hanin.

"Kalau lagi sakit tuh gak usah banyak bicara deh Nin." ucap Bian.

"Lah yang ngajakin saya bicara siapa? Kan Dokter sendiri." jawab Hanin sambil memutar bola matanya malas.

"Saya gak ngajakin ngomong, anggap aja saya sedang bermonolog sendiri." ujar Bian.

Pria ini benar-benar ingin membunuh Hanin dengan pelan-pelan sepertinya. Disaat Hanin sakit pun bahkan ia tetap saja melontarkan kata-kata yang membuat Hanin sebal dengan tingkahnya.

"Oh ya saya hampir lupa. Ini sapu tangan kamu kemarin tertinggal di mobil." ucap Bian sambil meronggoh sapu tangan dari saku jas nya.

Hanin mengambilnya dari tangan Bian tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Untung aja mantan saya gak pernah ada yang ngundang saya ke nikahannya. Tapi saya tahu sih kalau saya hadir mungkin mereka takut malah jatuh cinta lagi pada saya." ucap Bian sambil terkekeh.

Hanin mendumel dalam hatinya. Bian memang pria yang mempunyai tingkat kepedean yang sangat tinggi bahkan sampai overload mungkin.

"Nin kok gak ngomong apa-apa sih?" tanya Bian pada Hanin yang dari tadi hanya diam saja.

"Emangnya saya perlu bicara? Kan Dokter sedang bermonolog sendiri." jawab Hanin sambil tersenyum manis.

Bian mencibir mendengar jawaban Hanin.

"Dokter kesini mau ngasih ini kan? Yaudah sekarang Dokter bisa pulang lagi." ucap Hanin sambil mengacungkan sapu tangannya.

"Kamu ngusir saya?" tanya Bian.

"Enggak ngusir Dok, tapi mungkin pasien Dokter sedang menunggu." jawab Hanin.

"Saya udah selesai Hanin. Pasien saya akan ada lagi juga besok." jawab Bian.

Hanin hanya mengangguk-anggukan kepalanya.

"Lalu Dokter mau disini terus?" tanya Hanin.

"Bentar lagi saya pulang. Saya hanya takut kamu kesepian gak ada yang ngajakin ngobrol." jawab Bian sambil tersenyum miring.

Hanin mendengkus mendengar jawaban Bian. Tapi benar sih Hanin bisa mati bosan jika terus berada disini.

"Dok bisa bantuin saya gak?" tanya Hanin.

"Kamu minta bantuan aja sama saya. Tapi saya gak pernah tuh minta bantuan kamu." ujar Bian.

"Yaudah nanti kalau Dokter ada butuh sama saya saya bakalan bantuin. Tapi please bantuin saya kali ini." mohon Hanin.

"Bantuin apa?" tanya Bian.

"Saya mau pulang Dok. Saya gak mau dirawat disini, lebay banget kan kalau hanya penyakit segini di rawat di rumah sakit?" ucap Hanin.

"Caranya?" tanya Bian.

"Ya Dokter harus yakinin Dokter yang menangani saya supaya saya bisa pulang sekarang." jawab Hanin.

"Oke." jawab Bian singkat.

Tanpa berkata-kata lagi Bian berjalan keluar dari ruangan Hanin.

Hanin bersorak dalam hatinya, ada untungnya juga kenal sama si narsis satu itu.

Tak berselang lama Bian kembali ke tempat Hanin.

"Gimana Dok?" tanya Hanin cepat.

"Kamu boleh pulang katanya." jawab Bian.

"Yes! Makasih Dokter." ucap Hanin senang.

"Kamu jangan lupa janji kamu lho yang akan bantuin saya suatu hari nanti." ujar Bian.

"Oke siap Dokter. Hanin itu selalu memegang janji kok." jawab Hanin sambil terkekeh.

"Dok bantuin lepas infus nya." ucap Hanin.

Bian berdecak tapi tak urung dia melakukannya.

"Aw!" pekik Hanin.

"Saya baru pegang lho Hanin." ucap Bian.

"Dok jangan sampai sakit ya." ucap Hanin mulai berkaca-kaca.

Bian mengangkat alisnya bingung. Mau dilepas infus saja dia mau nangis? Bian menyesal karena tadi mencegah perawat yang hendak masuk ke ruangan untuk melepas infus Hanin.

Bian belum membuka infusan Hanin, ia pun duduk di pinggiran ranjang sambil memegang sebelah tangan Hanin.

"Kamu bisa gunakan punggung saya jika merasa takut." Ucap Bian.

Posisinya memang duduk di pinggiran ranjang namun membelakangi Hanin. Sedangkan tangan Hanin yang terpasang infusan dipegang olehnya.

Perlahan lahan Bian membuka infus yang terpasang di tangan Hanin.

Bian sempat menegang ketika tiba-tiba Hanin memeluknya dari belakang.

"Jangan sakit." ucap Hanin sambil menenggelamkan kepalanya di punggung Bian.

Bian pun mengangguk dan melanjutkan kegiatannya.

"Udah selesai Nin." ucap Bian.

Hanin mengangkat kepalanya perlahan dari punggung Bian. Ia melihat tangan bekas di infus itu telah terpasang plester.

"Dibuka aja kamu segitu ribetnya Nin. Gimana pas dipasangnya coba?" tanya Bian menatap Hanin.

Posisi Bian masih duduk di ranjang rumah sakit.

"Saya kan pingsan Dok. Jadi gak inget." jawab Hanin.

"Yaudah kamu mau pulang sekarang? Yuk saya anterin sekalian saya juga mau pulang." tawar Bian.

Hanin pun mengangguk menyetujui tawaran Bian.

Rencana [Telah Terbit]Where stories live. Discover now