Cerpen Bagian 2

29 0 0
                                    


chapter 2

Alif mengomeliku habis-habisan. Lebih tepatnya, dia memarahiku sampai puas. Bersyukur telingaku tidak berdarah.

Sebagai pemimpin kelompok pengganti saudaraku, dia bertanggung jawab pada semua anggotanya. Terutama aku, yang merupakan adik sahabatnya. Dia menggantikan posisi saudaraku untuk merawatku. Saat aku mengatakan kalau aku memiliki rencana untuk menemukan saudaraku, dia kelihatan senang. Tapi saat aku bilang bekerja sama dengan orang lain agar bisa menyusup ke dalam istana dan orang itu bangsawan penjajah, aku hampir dikurung di ruang bawah tanah agar tidak kabur. Tapi sifat keras kepalaku menang hingga membuatnya menyerah. Meski begitu, dia tetap menentangku bekerjasama dengan penjajah.

Setelah aku diobati oleh Rafael, sekretarisnya datang mengetuk pintu untuk melapor tentang para prajurit yang mengejarku—ternyata sebelumnya Rafael sudah tahu ada yang masuk ke rumahnya dan menyuruh si sekretaris untuk mengurus kekacauan, dan disini aku mengira keamanan rumahnya payah—aku langsung kabur lewat balkon sebelum Rafael sempat menjawabnya. Aku memanjat ke atas atap dan merangkak kearah pagar terdekat, kemudian dengan hati-hati—aku tidak mau terkena ujung pagar lagi—aku turun.

Kami berkomunikasi dengan penyusupanku selama beberapa malam, merencanakan langkah selanjutnya.

Kita berencana menyusup ke pesta teh bangsawan bersama keluarga kerajaan di istana dengan aku akan berperan sebagai pengawalnya. Dia sudah menyiapkan peralatan penyamaranku. Dari rambut perak palsu, jas hitam seragam dengan celananya, kemeja putih berbau wangi bunga lembut, sepatu hitam mengkilat yang sudah terpoles, bahkan kacamata hitam—aku bersikeras menolak menempelkan benda asing berbentuk bulat, bening, dan kecil di mataku—untuk menyembunyikan warna mataku. Dan hari ini akhirnya tiba.

Kami duduk di automob—kendaraan yang hanya dimiliki penjajah kaya—bersebelahan. Ukuran kendaraan ini cukup besar sampai aku bisa berbaring, yang tidak kulakukan karena akan memalukan. Automob ini menggunakan tenaga magnet hingga kendaraannya tidak bergesekan dengan daratan dan melaju dengan cepat, hanya saja automob ini tidak dapat digunakan di jalur yang tidak memiliki magnet.

Aku berkali-kali melirik kaca jendela, mengecek apa rambut palsuku terlihat miring, atau bedak yang menutupi warna kulit coklatku luntur, aku bahkan berulang kali menghitung kancing kemeja meski jumlahnya tidak pernah berubah. Rafael mengenakan pakaian resminya—yang kelihatannya panas dan merepotkan—dengan rambutnya disisir kebelakang, membuatnya terlihat sangat rapi.

"Tenanglah. Bahkan jika kamu tidak bercermin, Rambutmu tidak akan lepas begitu saja." aku tidak mempedulikannya dan tetap mengecek penampilanku. Aku bahkan mulai menghitung kancingku lagi.

Automob berjalan menanjak dan melewati gerbang tinggi. Dibaliknya, bangunan yang jauh lebih besar dari rumah Rafael terlihat. Sebuah gedung putih dengan atap berlapis perak yang di kelilingi taman seukuran lapangan menjulang tinggi, kami mengarah ke pintu masuk yang dipenuhi automob milik orang-orang berambut perak dengan perhiasan yang gemerlap di sekeliling tubuhnya.

Setelah automob berhenti, Rafael pun keluar. "Ayo, turun." ajaknya.

Aku turun mengikutinya. Sepanjang mata memandang, aku hanya melihat rambut perak, perak, dan perak. Namun, terlihat segelintir orang berambut hitam yang aku yakin adalah perwakilan penduduk asli yang menjilat para penjajah. Membayangkan akan memasuki tempat yang sama dengan mereka membuatku jijik. Aku harus menahan keinginan angkat kaki dari sini demi saudaraku. Kami pergi menuju pintu masuk istana, penjaga di pintu masuk meminta bukti identitas kepada Rafael, dia pun mengeluarkan semacam kartu dari saku celana dan memberikannya.

Saat penjaga itu menatapku dengan tatapan 'dan kamu? Siapa kamu?' aku hanya balas menatap dengan wajah 'apa urusanmu?' yang tentunya tidak terlihat karena kacamata hitamku.

Pemberontakan MilleniumWhere stories live. Discover now