Cerpen

73 1 0
                                    

Iseng aja sih pingin nge publish ini, dulu pernah bikin buat tugas pas sekolah trus kayak... yah eman aja kalo ga dibanggain wkwk (padahal aslinya cringe liat karya sendiri)

karya ini banyak banget kekurangan yang author sendiri bingung benerinnya wkwk, jadi mohon dimaklumi kalau ada yang kurang. aslinya oneshoot, tapi biar ga kepanjangan author bagi dua.

#cerita hanya fiksi belaka. terlahir dari imajinasi author

.                                                            . 

chapter 1

Rintik hujan di sore hari menjatuhi wajahku.

Hujan sudah mulai berhenti. Teriakan orang-orang terdengar dari arah pepohonan di belakang. Aku terbaring di tanah yang basah, mendengarkan suara-suara mereka yang makin mendekat. Kucoba untuk bangkit duduk sambil menahan kaki kananku yang sakit. Darah merembes dari celana tentara kesayanganku. Aku menjatuhkan pisau saat berlari, yang otomatis membuatku tidak bersenjata sama sekali. Bagus, sekarang aku akan kesulitan kabur dari mereka.

Cat merah yang kugunakan untuk menyamarkan wajah mulai luntur dan menutupi pandangan. Aku yakin wajahku tampak mengerikan sekarang. Rambut hitam yang kukepang kusut karena tersangkut ranting saat aku berlari. Baju tanpa lengan yang kupakai tentunya tidak bisa melindungi lengan coklatku dari goresan akibat berlari ditengah hutan.

Aku tahu ini egois, seharusnya aku mendengarkan Alif saat dia bilang ini misi yang membutuhkan kerjasama tim. Bukan malah dengan nekat melakukannya sendiri dan berakhir terpeleset sambil dikejar sekumpulan orang berambut perak yang memiliki senjata api dengan wajah jelek.

Derap langkah kaki semakin mendekat, dengan susah payah aku berdiri sambil berpegangan tongkat kayu yang kutemukan. Dengan terseok-seok, kuseret paksa langkahku menjauhi orang-orang itu.

"Sialan! Dimana perempuan itu?!" teriakan seseorang dengan suara berat khas prajurit laki-laki terdengar.

"Tenang, Sir. Kita sudah menembaknya, ia tidak akan pergi jauh." jawab suara lain yang lebih tinggi.

Aku mempercepat langkahku meski rasa sakit di kakiku semakin menjadi-jadi. Darahku berceceran di tanah setiap aku melangkah. Kurasa peluru beruntung yang mereka tembakkan menembus cukup dalam hingga membuatku kesakitan seperti ini.

"Keluar kamu!" teriakan suara berat itu terdengar lagi. Suaranya yang bergemuruh membuatku terlonjak, kusadari mereka hampir menyusul. Seperti yang kuduga, susah untuk orang pincang kabur dengan cepat. Aku berharap akan mendapat tempat sembunyi, apa saja tidak masalah. Gua, lubang, rumah kosong, sungai, bahkan tumpukan sampah sekalipun.

Dan harapanku terjawab.

Terlihat di depanku sebuah pagar besi dengan hiasan rumit berdiri setinggi lebih dari tiga meter. Dibaliknya, sebuah rumah berdesain modern (kalau bangunan setinggi tiga lantai dengan jarak sekitar lima puluh meter dari pagar bisa disebut rumah) dengan cat sewarna abu perapian terlihat. Tanpa berpikir aku langsung menyeret kakiku kearah sana.

Tepat saat aku menyentuh pagar, suara mereka terdengar lagi, "Disana!" aku menoleh, gerombolan pria bersenjata itu hanya berjarak beberapa puluh meter dariku. Mereka melangkah cepat kearahku dengan sepatu bot yang berat hingga membuat tanah bergetar. Aku langsung memanjat pagar dengan panik, sampai tanganku bergetar waktu memanjat. Untungnya, aku berhasil memanjat sampai puncak.

Sayangnya, pendaratanku tidak semulus itu.

Aku terhempas dari puncak pagar dan mendarat dengan keras di rumput. Tetesan darahku meninggalkan jejak di sepanjang pagar, belum lagi ujung pagar lancip—yang baru kusadari setelah jatuh –menggores kakiku yang terkena peluru. Kakiku berdenyut, aku meringis dan diam sejenak untuk menahan sakit.

Pemberontakan MilleniumWhere stories live. Discover now