Menyebalkan

7 2 6
                                    

Mentari merangkak naik dari ujung timur cakrawala, menyapa Buana dengan kehangatan yang disambut oleh nyanyian burung bersahutan. Tak pernah lupa menyirami bumi dengan cahaya kehidupannya, membangunkan kuncup putri malu yang sedari tadi mengatup malu seperti namanya.

Perlahan seberkas sinar menyusup lewat ventilasi kamar dan jendela yang sesekali gordennya terbuka oleh tiupan angin. Mencoba mengusik mimpi seorang gadis yang masih bergelung di bawah selimut. Bukannya bangun dari tidurnya, gadis itu justru menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya tak terkecuali wajah, berusaha menghalau cahaya yang mulai menerpa wajahnya.

Tok...tok...tok...

Suara ketukan yang menggema di balik pintu itu tak bisa mengusik nyenyaknya tidur Sang nona.

Tok...tok...tok...

"Non Veyla, keluarlah. Sarapan sudah siap, Non."

Suara ketukan pintu itu kembali terdengar dengan diikuti sahutan seseorang dari balik pintu. Namun rupanya hal itu belum mampu untuk membangunkan gadis remaja yang masih nyaman dengan posisinya.

Karena merasa jengah tak mendapat jawaban dari majikan, seseorang dibalik pintu yang tak lain adalah mbak Arum itu perlahan memutar knop pintu kamar Vey. Sebuah keberuntungan baginya, karena ternyata pintu kamar itu tidak terkunci sama sekali. Dengan perasaan was-was karena takut dianggap kurang ajar bagi ukuran seorang ART, mbak Arum mendekati ranjang milik Vey. Menyadari bahwa Sang majikan masih bergelung nyaman, mbak Arum hanya bisa menghela nafas perlahan.

"Non Veyla bangun. Waktunya sekolah, Non. Sudah siang," ucap mbak Arum dengan sedikit mengguncang tubuh Vey.

Sedangkan Vey yang merasa tidurnya terganggu hanya menggumam, lantas membalik badan menjadi membelakangi mbak Arum. Tak habis semangat, mbak Arum mengguncang tubuh Vey dengan lebih keras dan menyuruh Vey untuk segera bangun. Akhirnya usaha itu berhasil membuat Vey bersuara.

"Eumm... lima menit lagi Mbak," gumam Vey dengan suara serak.

"Tapi, Non. Ini sudah jam setengah tujuh!" teriak mbak Arum.

"Eumm.... baru jam setengah tujuh juga." Vey kembali menyamankan diri, namun sesaat setelah dia tersadar, dia membelalakan matanya dan segera bangkit.

"APA!? Setengah tujuh? Gawat, bisa telat sekolah ini." Mengabaikan mbak Arum yang masih setia ditempatnya, Vey segera ke kamar mandi guna mencuci muka dan gosok gigi lantas mengambil seragam dan memakainya. Tanpa payah-payah mandi, karena itu dapat membuang waktu.

Sedangkan mbak Arum yang melihat hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, heran terhadap tingkah ajaib Sang Majikan. Segera dia pun beranjak dari kamar Vey menuju ruang makan, mempersiapkan sarapan untuk Vey.

Setelah beberapa saat, terlihat Vey uang menuruni tangga dengan tergesa. Bi Sri yang melihatnya pun segera menyapa dan menyuruh nonanya untuk segera sarapan. Namun karena waktu yang telah mepet, Vey menolaknya.

"Vey nanti sarapan di kantin aja, Bi. Takutnya nggak keburu. Vey berangkat dulu! Assalamualaikum," jelas Vey.

Waalaikumsalam. Hati-hati, Non Veyla," jawab bi Sri.

Vey berangkat dengan diantar supirnya. Dalam perjalanan, Vey tak henti-hentinya menyuruh Sang sopir untuk mengendarai mobil lebih cepat. Menjengkelkan memang, tapi tak ada yang bisa dilajukan Sang sopir selain mengiyakan perintah majikan.

"Stop, stop, Pak. Cukup disini saja," titah Vey yang meminta diturunkan di depan halte.

Bukan tanpa alasan mengapa Vey meminta diturunkan di halte, bukannya di depan gerbang. Karena Vey sangat yakin bahwasanya gerbang telah tertutup, dan tentunya gerbang itu dijaga oleh satpam. Vey juga tahu, dia tidak akan diperbolehkan masuk sebelum jam pelajaran pertama berakhir.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 09, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Just Friend ? Where stories live. Discover now