Suara dari sahabat-sahabatnya terdengar membuat Jaemin mendongakkan kepala, senyumnya terukir kemudian berjalan mendekati mereka.

Cafe pada sore hari tidak terlalu ramai sehingga dari tadi Jaemin hanya bersandar di dekat kasir sembari melamun.

"Jaemin, pesankan empat ya!"

Kedua alis pemuda Na terangkat ketika mendengar permintaan Donghyuck di sana. Biasanya, mereka akan memesan tiga minuman karena Jaemin tidak termasuk.

"Siapa satu lagi, Hyuck?" tanya Jeno seraya melepaskan tasnya dan mendudukkan diri di bangku.

"Kakakku! Baru saja pulang dari luar negeri. Aku disuruh menemaninya jalan-jalan, tapi kan ini masih jadwalku bersama dengan kalian. Ya sudah, aku suruh ke sini mau tak mau."

Jaemin hanya ber-oh ria, ia berbalik ke dapur untuk memesankan minuman mereka seperti biasa, kecuali Renjun yang hanya ingin memakan es krim.

Setelah beberapa saat ia kembali, Jaemin sudah melihat punggung yang asing di sana. Suara tawanya juga berbeda dari para sahabatnya. Dengan memamerkan senyuman, pemuda Na sampai di meja mereka.

"Oh, Hyung ini sahabatku lagi yang bekerja di sini, namanya Na Jaemin."

Lelaki yang lebih tua itu berdiri seraya mengulurkan tangan, "Hello, namaku Mark."

Tangan pemuda Na terulur menyambut jabat tangan tersebut masih dengan senyum yang terpatri, "Jaemin, Hyung."

Karena tak ada pengunjung lagi, Jaemin tetap berdiri di sana. Dia tidak bisa duduk karena masih bagian dari jam kerjanya. Dari perbincangan yang didengar, ternyata hubungan Donghyuck dan kakaknya tidak berbeda dengan Renjun selama ini.

Ketiga pemuda di sana tertawa melihat interaksi pasangan kakak adik tersebut yang berdebat, apalagi ketika mendengar Mark berbicara dengan Bahasa Inggris.

"Oh, come on, Hyuck!"

"Berapa usiamu sampai ingin mengajak ke taman bermain, ha?!"

"Eh, sudah lama juga tidak ke taman bermain, kan?" sambar Jeno di sana seraya mencondongkan tubuh lebih dekat pada meja, "Terakhir kali aku di Busan dulu, saat pindah ke sini ada satu taman bermain yang sedang dibangun. Sekarang sudah jauh lebih besar," ceritanya.


Tak hanya Jeno, pemuda Huang yang tadi fokus pada es krim kini tertarik seraya menjentikkan jemarinya.


"Boleh, boleh. Sekalian refreshing."

Senyum Mark mengembang di sana seraya mengangkat tangan untuk berhigh-five pada dua pemuda yang setuju, "Yooo! Gomayo, guys!" serunya.

Bibir Donghyuck mengerucut, dua sahabatnya telah mengkhianati. Tatapan pemuda Seo itu tertuju pada Jaemin yang menaikkan kedua alisnya.


"Kalian kan yang sering memaksa, aku ikut saja."


"Tidak mengajak Donghyuck juga its okay. Tenang, semua biaya nanti aku yang menanggung, kalian — sebelum berhasil menyelesaikan kalimatnya, mulut Mark sudah dibekap oleh sang adik di sana sembari menggerutu.


Jaemin serta Jeno dan Renjun tertawa melihatnya.


***

Untuk kehadiran ketiga sahabatnya, Jaemin bersyukur. Mereka begitu berharga, seruan yang mengejek, selalu menuntut, tetapi sama sekali tidak pernah mengecewakan dan meninggalkan di saat titik terendah sekalipun. Jeno selalu bercerita, Renjun sering memberitahu dan Donghyuck begitu menghibur, saling melengkapi.


Selanjutnya, Jaemin akan berusaha memperbaiki supaya lebih terbuka pada mereka. Namun, melihat suasana yang menyenangkan tadi apalagi kehadiran kakak Donghyuck juga sangat menghibur, ia mengurungkan niat untuk bercerita tentang fakta Ayahnya.


Satu lagi yang harus pemuda Na syukuri dalam hidup, Leo menjadi teman di kala kesendiriannya dalam rumah. Anjing pintar itu selalu membuat ia kagum dengan tingkah yang dibuatnya. Untuk siapapun yang meninggalkan hewan tersebut, Jaemin mengucapkan terima kasih.

Bahkan setiap bangun tidur, Jaemin membuka pintu kamar dan dikejutkan dengan Leo yang tertidur di depan pintu kamarnya. Baru satu minggu terlewati mereka bertemu, tetapi si putih lucu itu memiliki sifat protektif.

"JAEMIN!"

Teriakan tersebut membuat Jaemin tersentak dari posisi duduknya di atas ranjang, keningnya berkerut ketika mendengar derap langkah yang begitu keras. Ditambah dengan Leo yang menyalak membuat suasana hening itu menjadi ramai seketika.

Segera ia beranjak dari posisinya kemudian keluar, sosok Jeno menjadi yang pertama dilihat. Sahabatnya itu membuka kamar-kamar yang ada dengan wajah memerah. Pemuda Lee juga tiba-tiba memasuki kamar Jaemin dan membuka jendela-jendela.


"Apa yang kau cari, Jeno?"

"Kau tidak apa-apa?"

Maniknya mengerjap beberapa kali ketika Jeno memeriksa tubuhnya, memutar dari kanan ke kiri kemudian menangkup wajah Jaemin.

"Kenapa, sih?"

"Tadi ada yang mengawasimu dari luar!"

Pernyataan tersebut membuat dahi Jaemin mengernyit, "Mengawasi?"


"Iya! Ada mobil yang selalu berhenti tepat di depan rumahmu! Aku sudah membiarkannya beberapa hari, tapi mobil itu selalu datang," jelasnya seraya menghela napas panjang kemudian duduk di ranjang Jaemin, "Aku selalu melihatnya dari kamar, tapi dia tidak pernah keluar dari mobil."


Tak langsung menjawab, Jaemin sejenak berpikir. Selama ini, ia tidak melakukan apapun untuk mencari keberadaan sang Ayah. Namun, jika benci sudah menguasai hati untuk mendengar nama saja pasti wanita itu tidak sudi.

"Berapa hari, Jeno? Berapa hari kau melihat mobil itu selalu di depan rumahku?"

Pandangan Jeno beralih padanya dengan tatapan serius, "Tiga atau empat hari?" jawabnya.

Jaemin hanya mendapatkan satu orang dalam pikirannya.


Mungkinkah istri sang ayah akan menghabisinya seperti beliau membuat Ibunya tiada?







Odika✓Où les histoires vivent. Découvrez maintenant