O.1

5.5K 809 94
                                    

Sorry for typo(s)



Hidup itu terus bergerak, sebesar apapun batu yang ada di jalanan jika tidak dilewati kau akan menetap pada posisimu. Jangan pula berbalik arah sedangkan orang lain tengah berbondong-bondong melangkah ke depan. Meskipun seorang diri dan berusaha adalah jalan terbaik untuk bebas dari perasaan kesendirian menuju bahagia.

Ah, berbicara tentang bahagia itu akan sensitif bagi beberapa manusia. Mereka saja tidak tahu kapan merasakannya? Ketika sudah mendapatkan sesuatu, ia akan membandingkannya untuk memiliki yang lain. Tidak pernah merasa puas, selalu seperti itu.

Salah satu ciri umum orang yang berbahagia adalah bibirnya selalu tersenyum.

Seperti yang dilakukan oleh sosok pemuda berkisar duapuluh tahun bernama Na Jaemin, dia bertahan dan menerima apa yang terjadi dalam hidup. Dikenal karena senyumannya yang manis dan memiliki sifat ramah.

Apalagi, pelanggan Cafe Fantasia Books yang selalu betah berlama-lama di sana untuk mendapat pelayanan yang menyenangkan dari pemuda manis tersebut.

"Jaemin!"

Tubuhnya berbalik tepat setelah selesai mencatat pesanan meja yang didatangi. Senyum pemuda itu terukir seraya melambaikan tangan dengan heboh.

"Injuuun!"

Sosok lain dari pintu masuk berjalan menghampiri, setelan celana jeans biru kemudian baju putih yang dibalut dengan kemeja flanel merah membuat pemuda tersebut juga mendapat tatapan kagum dari para pengunjung.

Memang sudah bukan rahasia lagi, sosok Jaemin memiliki teman-teman dengan visual tampan. Salah satunya Hwang Renjun, pemuda asal China yang merantau ke Korea.

"Nomor empat ya!" kata Jaemin sembari menunjuk pada meja paling ujung dekat dengan rak buku.

Cafe Fantasia Books tak hanya memberikan menu yang lezat, mereka juga memberikan tempat nyaman untuk membaca buku.

Sebelum menghampiri, Jaemin menuju ke dapur terlebih dahulu untuk memberikan kertas pesanan tersebut.

"Istirahat, Jaemin."

Kedua alis Jaemin terangkat ketika mendengar ucapan rekan kerjanya, manik itu melirik pada jam di pergelangan tangan.

"Nanti biar kuantar pesanan itu," sambungnya kemudian yang dibalas dengan senyuman oleh Jaemin.

"Terima kasih, Hyung!" serunya.

Tangannya dengan sigap melepas apron hitam yang menjadi seragam kerja sehingga meninggalkan celana hitam kain serta kemeja putih Jaemin. Berjalan melewati meja para pengunjung serta memamerkan senyum manisnya di sana.

"Jeno sudah datang, ya?" belum duduk, Jaemin mendapat pertanyaan dari sahabat satu tahunnya tersebut seraya menunjuk pada ransel hitam di atas meja.

"Iya, sedang ke toilet," kemudian duduk pada salah satu kursi dari meja yang melingkar di sana, "Sudah tahu tidak suka makan pedas, masih saja menerima makanan dari penggemarnya."

Tatapan Renjun di sana membuat pemuda Na menaikkan kedua alis karena bingung, "Apa?"

Helaan napas keluar dari bibir pemuda yang lebih mungil, kedua tangannya berada di atas meja dengan terlipat, "Kenapa tidak bilang kalau kau cuti kuliah? Baru dua semester, Jaemin!"

Pertanyaan yang terlontar dari sahabatnya membuat Jaemin tertawa kecil, sebelum menjawab ia melihat Jeno sudah kembali dari toilet dengan wajah yang penuh keringat. Wajahnya meringis ketika duduk di antara dua pemuda di sana.

"Syarat cuti kuliah kan minimal juga harus melewati dua semester, kan? Lagipula aku belum ada uang, jadi ya terpaksa meneruskan pekerjaan full time ini."

"Kau bisa saja bilang pada Ibu, nanti pasti dibantu," celetuk Jeno di sampingnya.

Usulan tersebut dibalas gelengan kepala oleh Jaemin, "Kalian sudah membantuku bertahun-tahun, sekarang giliran aku berjuang sendiri," sahutnya dengan lembut.

Baru tadi pagi, Renjun mengetahui sahabatnya yang tidak berangkat kuliah dengan alasan cuti. Kabar tersebut tentu saja membuatnya terkejut. Pasalnya, tak ada obrolan seperti ini sebelumnya. Mereka juga bukan dari kalangan keluarga yang berada, pekerjaan sampingan sudah menjadi hal yang biasa bagi Jaemin apalagi sejak sekolah dulu.

Yang membedakan status sosial mereka bukan dari harta benda, melainkan bagaimana mereka masih memiliki keluarga yang utuh dan sanggup memberikan biaya sedangkan Jaemin, dia saja beruntung mendapatkan tetangga seperti keluarga Jeno selama ini.

Kenangan masa lalu tidak baik untuk dikenang, terutama yang menimbulkan rasa sakit pada hati.

"Loh, Donghyuck belum datang?"

"Kau cuti kuliah, aku seperti di neraka dengan dua anak itu!" gerutu Renjun seraya mengusak surainya.

Panjang umur setelah mengucapkan nama tersebut, ketiganya menoleh pada suara yang menggema dari pintu masuk.

"Annyeong!" tangan Donghyuck melambai seraya memamerkan senyumannya, "Ayo silakan dinikmati! Ah, jangan memandangku seperti itu!"

"Eh! Orang gila dilarang masuk!" teriak Jeno dari tempat duduknya.


Tatapan Donghyuck tajam di sana menghampiri meja para sahabat. Dari ketiganya, pemuda berpipi gembil ini lahir dari keluarga yang berada, lihat saja jaket branded yang dikenakan, tetapi suka sekali memakai celana robek pada bagian lutut ke atas. Sering kali juga, mereka pergi menggunakan mobil miliknya.

Awalnya, Renjun tidak suka dengan sikap Donghyuck yang terlalu over. Apalagi kesan pertama mereka berada di kantin sangat membuat pemuda Hwang itu kesal, menyerobot makanan seenak saja mentang-mentang menu yang dipesan sama.

Akan tetapi, Donghyucklah yang menawarkan pertemanan. Dia sudah bosan dengan teman-teman yang selalu mengajak ke tempat yang tidak seharusnya. Dengan Jeno, Jaemin serta Renjun, ia menjadi lebih baik dalam akademis dan tingkah lakunya.


"Ayo pesan makanan. Aku traktir!" seru Donghyuck seraya menaik-turunkan alisnya.

Sudah lama sekali, ia tidak mengeluarkan uang untuk membayar makanan dengan sahabatnya ini. Mereka selalu memilih untuk menggunakan uang sendiri.


"Jangan ada yang membantah! Ayolah, uang sakuku semakin banyak ini kalau tidak digunakan!" sambungnya lagi.

Bola mata Renjun berotasi malas kemudian melempar buku tipis yang diambilnya dari rak, "Sombong sekali manusia ini!"


"Untuk Ibuku juga ya, Hyuck?" sambar Jeno seakan menantang.

"Iya! Yang banyak tidak apa-apa, ayo!" tangannya merangkul bahu pemuda Na seraya memberi tatapan tajam, "Jangan membantah, dengar Na Jaemin?"

Senyum pemuda manis itu terukir kemudian menganggukkan kepala.

Mungkin Jaemin tidak memiliki orang tua, tidak bisa juga melanjutkan kuliah. Namun, mendapat pekerjaan ini dan memiliki sahabat seperti Jeno, Renjun dan Donghyuck adalah kebahagiaan yang sangat disyukurinya.












Odika✓Where stories live. Discover now