Andrew tidak termasuk dalam itu. Sebenarnya ia cukup pintar, hanya saja kemalasannya yang membuat ia tidak naik kelas. Alhasil karena ia benar - benar ingin berubah dan tidak melakukan kesalahan yang sama lagi, ia sering belajar bersama denganku. Sebagai anak terpintar dalam kelas, kau harus berbagi ilmu, begitu katanya kepadaku.

Aku pun melihat banyak perkembangan dalam dirinya yang membuat persepsiku terhadapnya perlahan berubah menjadi semakin positif. Orang ini pekerja keras dan bersungguh - sungguh dengan tekadnya.

Aku mengaguminya. Semangatnya dalam belajar. Ia sungguh - sungguh mengurangi jadwal latihan basketnya—penyebab utama ia tidak naik kelas. Jika dulu ia bisa berlatih hampir setiap hari sepulang sekolah, sekarang ia hanya berlatih dua kali seminggu.

Bulan berlalu, dan kami menjadi sahabat. Meski ia dikelilingi berbagai teman yang populer, Andrew selalu menyisihkan waktu untukku. Terkadang aku bingung, kenapa ia harus memilihku sebagai teman dekatnya padahal ada banyak orang di luar sana yang mungkin jauh lebih gaul dan keren daripadaku.

Tapi seperti biasa, Andrew tidak akan menjawab jika aku bertanya seperti itu. Ia hanya diam dan tersenyum. Menatapku dengan binar yang tidak aku pahami apa maksudnya.

Lucunya, bahkan Andrew bisa mengonsultasikan urusan percintaannya denganku. Entah berkata kalau ia bosanlah, ia jatuh cintalah, ia bingunglah, dan lain sebagainya. Ia bilang kalau aku bisa diandalkan, meski memang tidak pernah memiliki pengalaman asmara sebelumnya.

Jika pacarnya berulang tahun, misalnya. Ia akan mengajakku untuk ikut membantunya memilih kado yang bagus dan tepat. Pernah, pacarnya mengaku sangat suka dengan kado yang ia berikan. Lalu Andrew dengan senyum bahagianya berjanji kepadaku akan mentraktir makan, karena ia sangat berterima kasih denganku.

Jika seperti itu aku hanya akan menggeleng - geleng. Ia persis seperti anak kecil. Ke mana sikapnya yang sombong dulu, aku tidak tahu.

Saat aku berulang tahun, ia dengan segala usahanya akan mengundang teman - teman yang lain untuk memberiku kejutan.

Dan pernah suatu kali, aku baru saja menangis semalam karena masalah keluarga. Alhasil saat aku dilempari telur busuk dan wajahku dilumuri kue tart, mataku bengkak seperti panda.

Ia tahu. Karena setelah semuanya sudah pulang, ia memelukku erat. Tanpa menyuruhku bercerita karena ia tahu masalahku pasti tidak jauh - jauh dari masalah keluarga. Kedua orang tuaku yang sering bertengkar semenjak ayahku diduga memiliki selingkuhan.

Andrew. Andrew yang mampu mendengar curhatan tidak jelasku saat aku tengah sesenggukan di telepon selama berjam - jam. Mengantar jemputku saat orang tuaku bahkan tidak peduli bagaimana keadaan anaknya.

Seolah aku memang memiliki tempat tersendiri di hatinya, meski ia memiliki pacar di luar sana.

Aku tersenyum. Mengingat semua potongan demi potongan kejadian beberapa tahun yang lalu. Saat ini, aku merindukannya. Bukan rindu jenis yang lain, tapi murni rindu seorang sahabat. Rasanya sukar sekali menemukan sahabat yang begitu ikhlas dan tulus di jaman sekarang.

Sudah tujuh tahun aku tidak bertemu dengannya. Karena ia melanjutkan studinya di Australia, sedangkan aku tetap di sini. Kami beberapa kali berkomunikasi lewat email, tapi hanya sebatas itu. Tugas dan pekerjaan kami menghambat komunikasi untuk tetap terjalin.

Di umurku yang ke-25 ini, karierku berkembang cukup baik. Seorang interior designer muda yang ternama di Indonesia, dan designku dibayar mahal oleh berbagai client yang memang datang dari kelas menengah ke atas. Bisa dibilang penghasilanku lebih dari cukup untuk membiayai hidupku sendiri.

Namun, seringkali aku merasakan kekosongan itu. Melihat pasangan yang bergandengan tangan satu sama lain, menatap satu sama lain penuh cinta—itu semua membuatku iri. Karena aku belum menemukan jodohku hingga saat ini.

Our Love JourneyWhere stories live. Discover now