It Was Always You

58K 2K 51
                                    

"Morning."

Kulihat ia tersentak kaget saat aku memanggilnya.

"Morning," ujarnya sambil tersenyum.

Aku ikut tersenyum. Senyumnya memang menular, begitu manis dan tulus.

Aku senang memerhatikannya. Aku mungkin bukanlah tipe orang yang suka memerhatikan sekitar, namun ia terkecuali. Aku suka melihatnya dengan berbagai ekspresinya yang menurutku lucu dan menggemaskan.

Ia mematikan kompor. "Bisa tolong ambilkan piring?"

Aku mengangguk. "Tentu. Apapun untuk orang yang membutuhkan bantuan," kikikku.

"Hei!" ujarnya kesal. "Aku memang pendek dan aku mengakuinya, jadi tidak perlu kau sindir terus!"

Aku tertawa. Ia sungguh menggemaskan.

"Aku tidak menyindirmu."

"Ya!"

"Tidak."

"Ya!"

Well, sebenarnya menurutku ia mungil, bukan pendek. Tingginya hanya kurang sedikit dari orang - orang pada umumnya, namun tubuhnya ideal.

Dan uhm, lekukan tubuhnya juga indah.

Selama ini mungkin ia tidak sadar dan menganggap tubuhnya tidak memiliki payudara serta bokong yang bagus, tapi menurutku itu pas.

"Kau pasti ingin menertawaiku sebentar lagi!"

Aku menggeleng jahil. "Tidak, Pumpkin."

Sambil ia meraih piring dari tanganku, bibirnya mengerucut lucu. "Jangan mentang - mentang kau tinggi."

"Sudahlah, sudah. Tidak penting kan?" kekehku. Aku menyandarkan dagu di bahunya. "Nanti kau mau bantu mengajarikukah?"

Ia menoleh. "Tentang apa?"

"Ada hal yang aku kurang mengerti di sini..." Aku menunjukkan setumpuk kertas dan menunjuk halaman dua puluh. "Kontrak yang kali ini sulit dipahami."

"Hmm..."

Aku menerima piring risoles dari tangannya, sembari dia mengambil juga berkasku dengan tangan kirinya. Keningnya tampak berkerut dan wajahnya begitu serius.

Entah kenapa, dia tampak begitu seksi buatku.

Tidak lama kemudian ia mengangguk - ngangguk. "Aku mengerti."

Aku menatapnya takjub. "Sungguh?"

"Yup," jawabnya mantap.

Aku memeluknya, saking senang dan bangganya. Oh Jasmineku...

"Lepaskan, Drew. Kau berat," kekehnya.

"Kau hebat sekali, Pumpkin. Bahkan selama berhari - hari aku membacanya, aku tidak mengerti juga," ujarku malu. "Terkadang aku masih tidak percaya kau mau menikah denganku."

Ia meletakkan tangannya di wajahku. Tangannya begitu lembut saat mengelus pipiku dengan gerakan perlahan. "Aku tidak melihat aspek - aspek seperti itu, Drew. Yang penting adalah kau sungguh - sungguh mencintaiku."

"Tentu saja..."

"Kau lelaki hebat," ujarnya. "Kau punya daya juang yang tinggi. Kau juga mau belajar, meski banyak tantangan yang menghadang. Ya kan?"

Aku mengecup punggung tangannya. "Ya, semua berkatmu. Seperti kata pepatah: 'behind a great man there's a great woman'."

Ia tersenyum. Manis sekali, sambil melingkarkan tangannya di leherku. "Too serious morning conversation, ya?"

Our Love JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang