Destiny

91.2K 2.6K 102
                                    

Destiny

Aku lupa kapan tepatnya, aku dan dia berhubungan baik satu sama lain.

Aku teringat bagaimana pertama kali kami bertemu. Dia dengan gaya sengak dan sombongnya—membuatku dulu merasa sangat tidak sreg. Menurutku, dia terlalu banyak gaya dan merasa dirinya adalah orang terhebat di dunia. Seperti preman.

Apalagi, aku baru tahu kalau dia tidak naik kelas. Menyebabkan dia harus mengulang SMA 1. Pantas saja, pikirku saat itu. Gaya selangit dan wajah angkuhnya menunjukkan kalau dia memang lebih sering berada di luar, daripada di rumah sepulang sekolah untuk belajar. Pandanganku terhadapnya pun menjadi lebih buruk. Meski aku akui memang aku hanya menilainya dari sisi luar saja saat itu.

Hari pertama sekolah, aku mengenakan sweater berwarna merah marun kesayanganku. Duduk dengan tenang di barisan kedua dari depan. Sama sekali tidak peduli dengan si sengak itu, meski sebagian temanku mendekatinya. Mungkin menganggapnya sebagai senior yang keren? Cih.

“Oi!”

Aku sedang mencatat, hingga kudengar sebuah panggilan—entah kepada siapa itu, yang menurutku tidak sopan. Aku pun bersikap acuh tak acuh dan terus mencatat.

“Oi, yang memakai sweater merah!”

Secara refleks aku pun memandang ke arah sumber suara. Kemudian sekilas melihat seluruh penjuru kelas apakah ada yang menggunakan sweater merah selain aku.

“Iya, kau!”

Sosok itu memandangku dengan tatapan aneh. Seolah aku adalah orang yang bodoh.

Aku berdecih dalam hati. Ya mana ada yang tahu, jika dia hanya memanggil tanpa nama? Apakah dia merasa sebagai jagoan karena lebih tua dari kami semua? Padahal kan, ia tidak naik kelas. Memangnya bangga dengan itu?

“Apa?” tanyaku datar.

“Ada pen tidak?”

Gayanya itu... sungguh aku tidak tahan. Setidaknya memintalah dengan baik - baik, bukan dengan caranya yang bahkan ogah - ogahan memandangku. Mana mungkin bisa aku meminjamkan dengan ikhlas dengan ia yang seenak jidatnya seperti ini?

Aku mulai menduga - duga. Jangan - jangan ia tidak naik bukan hanya karena nilai, melainkan sikapnya yang tidak sopan seperti ini?

Mendadak aku ilfeel. Mual.

“Hm.”

Aku hanya menjawab dengan malas - malasan. Mencari pen yang menurutku paling jelek dan tidak berharga, kalau - kalau ia tidak akan mengembalikannya. Lalu melempar ke arahnya (atau lebih tepatnya ke arah kepalanya) yang langsung ia tangkap dengan mudah oleh satu tangannya.

“Thanks.”

Oh, rupanya ia masih mengerti tata krama.

Lalu entah bagaimana, semakin lama kami semakin dekat. Aku mulai tahu bahwa sebetulnya ia sama sekali tidak sombong dan sengak, melainkan hangat. Humoris. Menyenangkan.

Ternyata itu semua hanyalah topengnya. Karena dia pernah bercerita, bahwa ia punya semacam image buruk tentang adik kelas. Bahwa mereka sering kali hanya mempergunakan popularitasnya untuk ikut populer.

Tapi toh, akhirnya kami semua berteman dengannya. Ia pun mulai bisa membuka diri dengan kami.

Ia memang memiliki banyak teman, entah dari angkatan manapun bahkan dari sekolah lain. Berbeda denganku yang hanya punya teman itu - itu saja.

Bukan termasuk nerd, hanya saja aku suka merasa tidak nyaman dengan para orang populer yang hanya bisa membicarakan brand - brand mahal maupun acara hangout padahal berotak kosong. Selain Andrew, tentu saja.

Our Love JourneyWhere stories live. Discover now