HD • 04

27.7K 4.1K 311
                                    

Aku sedih banget sebenernya. Lihat para siders yang jumlah nya sekitar 8 ribuan bikin moodku anjlok nggak ketolongan. I mean, apa sih yang bikin kalian pada cuma suka baca tanpa bayar gratis lewat vote? Kepikir nggak kalau vote kalian itu sangat berarti dan bisa bikin masa depanku lebih cerah karena we never know kapan para penerbit melirik storyku. Mereka juga pasti akan mikir, walaupun storynya bagus atau lolos seleksi, tapi kalo vote nya dikit, siapa yang mau beli, yakan?

Apa iya harus aku gertak dulu buat para siders baru mau kasih vote untuk jerih payah ku? Jujur, aku itu ngerasa kayak pengemis vote, tau nggak sih dear. Aku miris sama diriku sendiri yang selalu pengen memenuhi keinginan pembaca, tapi pembaca ku sendiri sebodo amat, yang penting aku update, mereka nikmati karyaku, lalu mereka tinggal kan tanpa jejak vote atau komen, lalu nunggu aku update lagi. Begitu seterusnya. Aku itu malu banget harus sampe kayak gini.

Kayak di Epiphany kemarin contohnya. Kalau waktu itu nggak aku gertak, vote hanya sekitar 800an padahal pembacanya 5 ribuan. Apa nggak ngaruh ke kondisi moodku sebagai penulis?

25 Agustus 2020

Aku tengah menyisir rambutku seusai mandi ketika tangan Arjuna memelukku dengan erat dari belakang. Sudah tidak kaget sih, soalnya terlihat dari kaca besar tempatku berdiri saat ini.

"Mas, pake baju dulu gih. Masuk angin nanti."

"Nggak akan. Lagian Mas juga mandi air hangat." Arjuna menggeleng, menolak usulku. Aku mendengus. Sudahlah. Dia itu keras kepalanya melebihi batu, jadi akan sia-sia saja tenagaku untuk berusaha memberikan nasihat untuknya.

"Masih sakit nggak?"

Sisirku nyaris jatuh ketika Arjuna bertanya perihal sakit kali ini. Wajahku kuyakin sudah merah bukan main ketika mengingat kilasan kejadian beberapa jam yang lalu.

"Apa sih Mas?! Nggak usah bahas-bahas lagi deh." rengekku kesal sekaligus malu.

Suamiku malah terkekeh tanpa dosa, ikut membawa tubuhku yang masih ada di dekapannya bergetar karena tawanya. "Malu? Kenapa harus malu sih, sayang? Kan itu kegiatan suami istri, dan kita juga pasangan legal, nggak bakal ada yang grebek kita kaya insiden di hotel-hotel melati yang sering masuk tv itu."

Tuh kan?! Entah kenapa ya, suamiku itu sekarang genit nya ampun-ampunan deh. Ngomong agak ke kanan, langsung di samber. Ngomong ke kiri, langsung di samber juga. Aku ibarat hewan kecil yang sudah ditunggu oleh seekor hyena ganas di ujung jalan.

"Ya tapi kan...tapi..."

Lengan Arjuna melonggar di perutku. Tangannya meraih bahuku, lantas menghadapkanku tepat di depan dadanya. "Mas itu khawatir, sayang. Mas takut tadi kebablasan kasar terus bikin kamu sakit." bisiknya sambil mengusap area pipiku yang tadi memang menggembung karena...ah sudahlah.

Aku menundukkan wajah. Maluuuuu sekali. "Ng...Nggak sakit kok Mas. Cuma kaget aja. Soalnya...punya Mas....besar banget." lirihku sudah tak lagi punya muka untuk menatapnya.

Ya ya, aku tahu kalau dengan berkata seperti itu, aku pasti akan semakin memantik ego nya sebagai lelaki. Karena yang kutahu setelah membaca beberapa artikel, laki-laki memang akan luar biasa senang dan bangga ketika pasangan hidupnya memuji performa mereka mengenai kehidupan seks. Dan seperti yang kulakukan, Arjuna sudah tersenyum lebar. Salah, sangat amat lebar hingga aku ngeri kalau-kalau bibirnya bisa robek ujung nya.

"Junior emang cuma namanya aja yang junior, tapi sebenernya, dia itu senior, sayang. Buktinya, kamu bisa sampe nagih gitu." kedip nya mesum sambil mencuri kecupan dariku.

Tolong yang pengantin baru, apa memang seperti ini rasanya ketika baru saja berubah status menjadi istri? Membicarakan seks itu seolah penuh tabu dan malu-malu. Padahal, kita sendiri sudah bisa menyentuh, meraba, dan merasakan junior-junior pasangan kita.

Aku tak lagi membalas godaan Arjuna. Menuju koper, aku memilihkan pakaian untuknya. Kaus polo berwarna putih dengan celana jeans pendek berwarna biru dongker.

"Udah ah buruan pake baju nya. Orangtua kita udah nunggu kita buat sarapan, Mas."

Kuasongkan pakaian pilihan ku pada Arjuna yang diterima olehnya, masih dengan raut mesum yang terkadang ingin sekali kutonjok.

"Nggak mau pakein, nih? Siapa tau kamu kangen sama si junior dan pengen sentil-sentil dikit gitu." godanya lagi.

Aku hanya bisa mengurut dada dan memukul lengannya yang nemplok-able itu kuat-kuat. Bodo amat dapat dosa di hari pertama jadi istri.

"Cepetan ganti nggak? Kalo nggak, si junior puasa sampe tahun depan!" ancamku yang berakhir dengan senyuman lebar kala melihat Arjuna buru-buru membuka handuknya dan segera memakai pakaiannya.

Mau tau bagaimana jurus jitu mengancam suami? Cukup gertak saja perihal makanan junior nya, dan bisa dipastikan, para suami akan sangat nurut bin manut pada istri. Ada yang setuju?

🔰🔰🔰

Hello DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang