Without Naruto

2.2K 296 6
                                    



Seminggu setelah ia tiba di Jepang, Hinata bagaikan raga tanpa nyawa. Wanita itu mengurung dirinya di kamar, menolak kunjungan rekan-rekan semasa sekolahnya, bahkan beberapa kali menolak untuk makan. Kepulangannya yang tiba-tiba tentu saja membuat Hiashi dan Hikari khawatir, apa lagi saat mengetahui Naruto tidak bersama Hinata. Berbagai macam pertanyaan, rasa khawatir, dan keheranan membuat Hikari menghubungi keluarga Naruto dan sayangnya Mei dan Minato sama sekali tidak bisa menjelaskan apapun yang Hikari tanyakan.

Hinata Point of View

Hari ini ibu mengetuk pintu kamarku, ibu memanggil namaku dengan begitu lembut. Dan aku sama sekali tidak memiliki alasan untuk tidak membukakan pintu untuknya. Dengan langkah gontai, aku menuju pintu, memutar kuncinya dan membiarkan ibu masuk dengan sebuah nampan berisi makanan di tangannya.

Awalnya aku mengira ibu akan memarahiku kala menemukan kamarku begitu berantakan dan aku yang hanya terpaku pada ranjang, menatap kosong pada semua hal yang ada lalu menangis tanpa suara. Aku tersadar, kamar ini begitu kacau. Barang-barang tergeletak sembarangan di mana-mana, beberapa pigura yang menampilkan fotoku dan Naruto ikut berserakan di lantai, dan ranjangku begitu tak teratur. Lalu aku sendiri, berselimutkan kesedihan dan kekalutan. Aku tertawa miris di sela-sela tangisan tanpa suaraku.

Tapi, ibu sama sekali tidak marah. Yang ia lakukan adalah mendekatiku, merapihkan helaian indigo milikku yang serupa dengan miliknya, lalu ibu memelukku dengan erat- sontak saja air mataku bertambah deras kala merasakan pelukan ibu yang begitu hangat itu. "Hinata sayang, putriku, tumbuhlah menjadi perempuan yang tangguh. Kau tidak bisa menyerah seperti ini, ceritakan pada ibu hal apa yang membuat mu bersedih, dan kita akan mencari solusi untuk masalahmu bersama-sama." Ibu menuturkan kalimat penenang itu sambil mengusap-usap helaian rambutku yang kusut. Tangisku kian deras dan ibu sama sekali tidak memaksaku untuk berbicara.

Berikutnya adalah ibu melepaskan pelukannya dan menyuapiku dengan sup hangat buatannya. Aku tidak bisa untuk menolak setiap suapan yang ibu antarkan ke mulutku, dan aku mengerti selama di London hal-hal seperti inilah yang aku rindukan. Mengapa- mengapa aku begitu sedih sekarang?

Satu mangkuk sup dan satu gelas susu hangat membuat diriku merasa sedikit lebih baik, namun perasaan nyaman itu tidak bertahan lama, seketika aku memikirkan kembali mengenai kekasih- ah bukan, lebih tepatnya memikirkan mengenai mantan kekasihku. Apa yang tengah ia lakukan di sana, apa ia sudah makan? Siapa yang memasak untuknya? Lalu, masihkah ia mabuk-mabukan?

Aku merasa begitu sedih untuk apa yang terjadi antara diriku dan Naruto. Awalnya aku berpikir, ini adalah yang terbaik untukku dan Naruto. Tapi mengapa aku justru merasa begitu terluka saat ini? apakah Naruto merasakan luka yang sama? Atau lelaki itu justru senang akan kebebasan yang ia dapat setelah aku pergi?

Rasanya, baru kemarin aku dan Naruto saling bercanda, tertawa bersama, lalu saling mencintai. Tapi, mengapa hari ini justru kami terpisahkan? Mengapa- mengapa takdir begitu keji mempermainkan aku dan Naruto? Atau- mengapa aku begitu egois untuk mengakhiri hubungan kami secara sepihak, andai saja aku lebih bersabar, meredam egoku dan menunggu penjelasan Naruto, pastinya semua tidak akan seperti ini. Ah, Naruto!

Kemudian adalah air mata.

Ibu merapihkan segala kekacauan yang ada di kamarku, membereskan semua hal yang berantakan sedangkan aku kembali pada rasa sedih dan rindu itu. Perihal pergi ataupun kembali membuatku begitu bimbang, Naruto ada di hatiku namun kepalaku mengenyahkan segala pikiran tentang dia. 'Untuk apa memikirkan lelaki yang tidak mengharapkan kehadiranmu?' Begitu kira-kita yang kepala Hinata katakan.

Pergi atau kembali.

Cinta atau duka.

Hal-hal itu membuatku mendesah lelah. Seharusnya tidak serumit ini andai aku bersabar dan memaklumi Naruto di hari itu.

"Ibu, apa aku harus memaafkan Naruto?"

Pertanyaan itu membuat Ibu menoleh, dan memandangku penuh dengan khawatir. Hatiku berdenyut bersama dengan air mataku yang meleleh dan aku merasa rindu itu menggerogoti inti jantungku, aku merindukan Naruto.

"Narutoku, sayangku aku merindukanmu."

Kau tau Naruto, aku menangisi mu tiada henti? Kau tau Naruto, bahkan di setiap kemarahan yang aku rasakan, aku tetap mencintai dirimu.

TBC

Seharusnya ini ga ada wkwk, tapi sengaja aku buat biar kalian liat dari sisi keduanya, Naruto dan Hinata maksudnya hehe.

Day by DayWhere stories live. Discover now