Strom

2.3K 316 6
                                    


Tidak ada hal yang baik-baik saja dengan sebuah kehilangan.

......

Waktu berjalan dengan amat cepat. Naruto tidak menyangka ini adalah musim dingin ketiga untuknya di London. Hari-hari berjalan dengan amat baik untuk dirinya, untuk Hinata, dan untuk masa depan mereka. Semula dirinya dan Hinata masih menggunakan bahasa inggris yang pasif, kini keduanya dapat menggunakan bahasa inggris aktif dengan aksen britsh yang sempurna. Pula dengan studinya, setelah enam bulan menyelesaikan studi sekolah menengah atas di sekolah milik keluarga Uzumaki, Naruto dan Hinata akhirnya resmi terdaftar sebagai pelajar di Universitas Oxford. Semua berjalan dengan amat baik dan terasa hampir sempurna.

"Sayang, hari ini aku ada kelas tambahan bersama Alice dan Charlotte kau tidak usah menunggu ku ya." Hinata menuturkan seraya meletakkan pancake milik Naruto ke atas meja. Menyiapkan sarapan untuk Naruto telah menjadi suatu kebiasaan untuk Hinata.

Kepala Naruto mengangguk sebagai jawaban untuk Hinata. Lelaki itu masih sibuk mencermati isi novel roman klasik yang ditulis oleh Jane Austen. Belakangan ini, Naruto memutuskan untuk mempercepat masa studinya. Impian menjadi penulis entah mengapa sirna, lelaki itu lebih tertarik untuk menjadi seorang dosen saat ini. Dan sebagai kekasih yang baik, tentu saja Hinata mendukung setiap langkah yang Naruto ambil.

Jika Naruto mendalami fakultas sastra, Hinata berada di kelas ekonomi. Sama seperti Naruto, Hinata pun berusaha menamati studinya lebih awal, tujuannya hanya satu, agar dirinya dan Naruto bisa segera kembali ke Jepang.

"Oh iya, pagi tadi ada telepon dari Karin," Hinata berujar dengan hati-hati, ini sebuah berita yang kurang baik untuk memulai hari. "Bibi Mito harus kembali menjani opname."

Seketika gerakan tangn Naruto terhenti. Lelaki itu menjatuhkan garpunya begitu saja dan memandang Hinata dengan seksama. "Kau bohong, kan?"

Satu-satunya hal yang merusak kesempurnaan hidup Naruto saat ini adalah penyakit yang diderita oleh bibinya, siapa sangka- penyakit jantung bawaan yang diderita oleh ibunya ternyata diwarisi pula oleh bibinya? Tidak ada yang menyangka. Penyakit itu menjadi satu-satunya momok mengerikan untuk Naruto. Trauma akibat kematian ibunya selalu menghantui Naruto. Tidak, Naruto tidak mau kehilangan bibinya dikarenakan hal yang sama. Tidak, Naruto tidak ingin penyakit tersebut merenggut bibinya- seorang yang Naruto anggap sama berharganya dengan sang ibu.

"Nata, aku tidak akan kuliah hari ini. Aku akan menjaga bibi di rumah sakit."

Day by Day

Naruto belong to Masashi Kishimoto

Story by Cleorain

Seingat Hinata, Naruto sama sekali tidak pernah terlihat sekalut ini setelah mereka tinggal di London. Hari-hari yang mereka jalani di London cenderung ringan, dan menyisahkan memori manis di kepalanya. Pasti berita mengenai dropnya kondisi Bibi Mito membuat kekasihnya itu sangat sedih. Hinata mengerti, Naruto menyayangi wanita itu seperti ibu kandungnya sendiri. Begitu pula dengan Hinata, ia mencintai wanita bernama Mito itu sebagaimana ia mencintai ibunya.

Hembusan napas lelah terdengar. Hinata khawatir keadaan bibi Mito akan membuat Naruto kembali menjadi lelaki dingin seperti dulu.

"Sejak tadi ku dengar yang kau lakukan hanya menghembuskan napas. Hinata selesaikan tugas ini. Kau tidak mau kan liburan musim dinginmu terganggu? Kau akan pulang ke Jepang tahun ini kan?" Charlotte mengeluhkan sikap Hinata yang nampak berbeda hari ini, Charlotte adalah seorang gadis lokal berusia dua puluh satu tahun yang merupakan salah satu dari dua orang sahabat yang Hinata miliki di London.

"Sepertinya aku tidak akan kembali ke Jepang. Kerabat pacarku sedang sakit, dan pacarku sangat khawatir dengan keadaannya."

"Oh ya Tuhan, ku harap kondisinya segera membaik."

"Semoga saja." Jawab Hinata. Ia mengambil ponsel dari dalam tasnya dan memeriksa notifikasi, lalu rasa kecewa hinggap di dadanya karena tidak menemui pesan singkat Naruto di ponselnya. Dan Hinata memutuskan untuk mengunjungi rumah sakit.

Sepanjang jalan menuju St. Thomas Hospital Hinata terus mengucapkan doa, berharap keadaan bibi Mito segera pulih dan tentu saja mendoakan agar Naruto tidak mengalami kembali apa yang lelaki itu rasakan kala kehilangan ibunya beberapa tahun silam. Dari Oxford menuju London memerlukan waktu sembilan puluh menit menggunakan bus, selama itu perasaan Hinata diliputi kecemasan dan rasa tidak nyaman. Dari hatinya yang paling dalam, Hinata memohon Tuhan berbaik hati memberikan hal-hal baik untuknya dan Naruto.

Aroma khas rumah sakit memenuhi indera penciuman Hinata kala wanita itu tiba di koridor St Thomas Hospital. Dengan berjalan pelan, Hinata akhirnya tiba di ruang rawat milik Mito. Hinata bernapas lega, menemukan Naruto ada di dalam ruangan dengan Bibi Mito yang terbaring di ranjang.

"Naru." Panggil Hinata dengan pelan.

"Nata."

Hinata membeku begitu Naruto memeluknya dengan erat. Lalu, Hinata dapat merasakan bahunya basah dan punggung Naruto gemetar di dalam pelukan mereka. Hati Hinata mencelus, Naruto menangis. Ini adalah kala pertama untuk Hinata mendapati kekasihnya berada dalam titik paling rendah, bersama dengan tangis Naruto yang semakin menderas- Hinata mengusap lembut punggung kekasihnya, mencoba memberikan Naruto ketenangan meskipun sebenarnya Hinata merasa dirinya pun akan segera menangis. Rasa takut akan kehilangan memang begitu kejam. Menghantui tiap insan akan bayang-bayang kehilangan ataupun perpisahan yang menyedihkan.

"Aku disini..." Hinata menuturkan, pelukannya semakin erat seiring dengan tangis Naruto yang semakin tersedu-sedu. Sekuat tenaga Hinata menahan air matanya yang akan jatuh, Hinata tidak ingin menangis, dia harus tetap kuat untuk Naruto.

.........

Tidak ada satu orang pun yang menyangka, hari itu akan menjadi hari terakhir bagi Uzumaki Mito untuk bernapas. Tepat pada pukul delapan malam, dokter menyatakan bibi dari Naruto itu meninggal dunia. Naruto tidak tau apa lagi yang harus ia lakukan kala alat-alat medis yang semula dipasangkan pada tubuh bibinya perlahan-lahan dilepaskan.

Sepupunya, Uzumaki Karin menangis histeris seolah menyangkal fakta yang ada bahwa Ibunya telah tiada. Pula dengan Hinata, wanita itu benar-benar tidak mengerti bagaimana keadaan buruk ini terjadi begitu cepat. Baru saja ia dan Naruto saling menguatkan diri, entah mengapa Tuhan begitu tega menyadarkan mereka, bahwa ia dan Naruto tidaklah sekuat yang Hinata pikirkan. Air mata dan jeritan histeris mengantarkan kepergian seorang Uzumaki Mito malam itu.

Pukul sepuluh malam, Hinata menemui Naruto di kamar bibi Mito. Sejak kepulangan jenazah bibinya, Naruto mengurung diri di kamar bibinya. Pemakaman baru akan dilakukan esok pagi, namun beberapa kerabat dan rekan telah datang, mengucapkan belasungkawa pada keluarga Mito sekaligus mengucapkan salam perpisahan pada wanita tua yang terkenal dengan kumurahan hatinya itu.

Dapat Hinata lihat, Naruto masih sempat tersenyum meskipun Hinata tau senyum tersebut palsu. "Aku turut berduka." Ucap Hinata sambil memandangi Naruto yang berdiri di dekat jendela, entah bagaimana perasaan lelaki itu saat ini.

"Sebelum kau datang tadi pagi, bibi mengatakan ingin datang ke pernikahan kita," Ujar Naruto dengan pelan dan kalimat itu sontak membuat air mata Hinata turun tanpa dapat dicegah. "Tapi takdir berkata lain, bibi tidak akan pernah datang ke pernikahan kita."

Dan Hinata kembali memeluk Naruto, keduanya berbagi pelukan di tengah derasnya air mata yang mengalir. Mencoba menguatkan di tengah duka yang menyapa. Satu yang Naruto paham, tidak akan ada yang baik-baik saja dengan sebuah kehilangan.

TBC

Day by DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang