Sex?

3.2K 382 47
                                    



Tiga menit cukup untuk membuat Naruto dan Hinata saling membisu, Naruto sendiri mengutuk dirinya yang secara tiba-tiba mengucap kalimat ambigu barusan lelaki itu tertawa canggung lalu menatap Hinata dengan senyuman yang begitu manis. "Nata maafkan aku ya, aku tidak bermaksud seperti itu." Ucap Naruto sambil menggenggam tangan kekasihnya.

"Padahal aku menganggapnya serius," Hinata mendengkus, ia kemudian berdiri dan menyalakan televisi yang ada di kamarnya. "Menonton berita saja, sepertinya itu cocok untuk dirimu." Kemudian gadis itu berbaring di ranjangnya yang berbalut seprai bergambar wild flower tangannya menepuk sisi kosong ranjang meminta Naruto bergabung bersamanya meskipun wajah gadis itu benar-benar tertekuk, badmood melanda gadis itu.

"Kenapa hem? Kau marah?" Perlahan, Naruto menaiki ranjang tersebut kemudian membawa Hinata bersandar pada lengannya. "Mencintai bukan berarti harus merusak, dengan menghormati kekasihku bukannya berarti aku terbukti mencintainya?" Jari jemari Naru bermain pada helaian indigo Hinata yang begitu halus.

"T-tapi hampir seluruh pasangan di sekolah kita sudah melakukannya."

"Melakukan apa?" Tanya Naruto dengan senyum geli.

"Sex." Hinata berujar pelan, suaranya hampir mirip sebuah bisikan, sejujurnya ia merasa malu untuk berterus terang mengucapkan kata 'sex'.

"Kita akan melakukannya, tapi nanti, tidak sekarang."

"K-kenapa? Bahkan Shion dan kekasihnya melakukan hal itu hampir setiap hari....." Pipi Hinata terasa hangat, gadis itu malu namun mau.

"Jadi kalian para gadis sering membahas hal seperti itu?"

"Beberapa kali, seperti pertanyaan mengenai gaya apa yang kami sukai, atau bagaimana cara kekasih kami memberikan kepuasan pada kami."

Tawa Naruto pecah, dia benar-benar tidak paham dengan jalan pikiran para gadis tersebut.

"Jangan tertawa, lakukan saja." Hinata memelas kemudian puppy eyes itu ia tunjukan pada Naruto.

"Aku tidak membawa kondom."

"Tidak usah pakai."

Dan Naruto kembali terbahak, dia melepaskan pelukan Hinata kemudian berguling ke samping, membuat dirinya berada di atas Hinata namun tidak membiarkan dirinya menindih kekasihnya. "Aku bisa melakukannya sekarang, tapi aku jamin kau akan keenakan. Dan aku tidak mau menjadikan sex sebagai gaya hubungan kita."

"Munafik, kekasihku, ah bukan mantan kekasihku si Toneri bahkan berkali-kali merayuku untuk melakukannya," Mata abu-abu Hinata memandangi Naruto yang ada di atasnya dengan begitu dalam. "Kita bahkan tidak pernah berciuman."

"Sialan." Naruto mengumpat, kemudian mata biru itu terpejam dan dengan begitu kasar lelaki itu melumat bibir Hinata, memberikan kecupan liar pada bibir bagian bawahnya lalu keduanya beradu cumbuan lidah dengan begitu sensual.

Napas Hinata tersenggal seusai menyudahi ciuman mereka tangannya melingkari leher kokoh Naruto dan mengelus tengkuknya. Berada dalam posisi seintim ini, baru pertama kali Hinata rasakan. "K-kita akan melakukannya sekarang?" Tanya Hinata, matanya tidak memutuskan kontak dari sang kekasih.

"Kau gemetar," Tidak ada lagi jarak antara dirinya dan Hinata, Naruto bahkan bisa merasakan beberapa bagian sensitive dari tubuh kekasihnya, dan Naruto harus mengakui Hinata memiliki ukuran yang lebih wah dibandingkan dengan gadis lain yang seusia dengan mereka. "Aku baru mencium bibirmu saja kau gemetar, bagaimana jika aku berbuat lebih? Bisa saja kau tremor."

"Lalu kapan kita akan melakukannya?" Tanya Hinata dengan menggigit bibir bagian bawahnya.

"Kalau sudah menikah," Jawab Naruto dengan asal, lalu lelaki itu bergeser dari tubuh Hinata tangannya kemudian mengambil alih remote televisi dan merubah channelnya menjadi channel anime. "Nah, kekasihku yang cantik sekarang lebih baik kita menonton anime, agar tetap waras."

.......

Jam menunjukan pukul sepuluh malam kala Naruto tiba di mansion Uzumaki. Ia berjalan dengan hati-hati, enggan memancing perhatian berlebihan.

"Naru kau baru pulang? Kemana saja? Ibu mencemaskan mu."

Itu suara Mei, ibu tirinya yang mengesalkan. Naruto enggan meresponnya, tanpa menjawab pertanyaan ibu tirinya Naruto masuk ke dalam kamarnya dan menguncinya begitu saja.

"Setidaknya kau harus makan malam," Mei mengetuk pintu kamar Naruto dengan pelan. "Ibu sudah menyiapkan  beef teriyaki kesukaanmu."

Kematian ibu kandungnya dua tahun lalu menyisahkan luka hati yang begitu dalam di hati Naruto. Belum pulih rasa kehilangan yang ia rasakan, Naruto kembali menelan pil pahit dengan pernikahan kedua sang ayah. Meskipun Minato beralasan pernikahan keduanya adalah untuk Naruto, agar Naruto memiliki sosok ibu lagi- alasan tersebut tetap tidak bisa Naruto terima.

Baginya, kesetiaan adalah sebuah standar dan kesetiaan sama sekali bukan sebuah hal yang bisa dikatakan istimewa. Seseorang harus memiliki kesetiaan tidak peduli bagaimanapun kondisinya. Dan, ayahnya gagal membuktikan hal tersebut.

"Ck," Lelaki itu mendecak kesal, suara Mei yang memintanya untuk makan malam belum juga usai. "Aku sudah makan." Ia berteriak agak sedikit membentak, kemudian masuk ke dalam toilet. Naruto butuh pelepasan, bagaimanapun ia lelaki normal dan berada dalam kondisi intim dengan Hinata beberapa jam lalu membuatnya harus menjadi solo player untuk menuntaskan libidonya.

.......

"Naruto tidak bisa menerimaku sebagai ibunya." Mei bersandar pada sofa, sebelah tangannya memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Menikahi duda dengan satu anak yang berusia remaja tanggung, nyatanya bukan hal yang mudah. Terlebih, sosok suami dan anak tirinya begitu mencintai wanita yang ia gantikan posisinya.

"Aku akan mengirimnya ke London," Minato menuturkan, lalu ia tersenyum pada Mei. "Keluarga Kushina menetap di London. Aku yakin Naruto lebih baik berada disana."

"Begitu ya? Lalu bagaimana dengan sekolahnya disini?"

"Dia akan pindah, aku sudah melakukan pendaftaran kelas sastra di oxford untuknya," Ujar Minato lagi, kemudian safir milik Minato menatap pigura Kushina yang terpajang di dinding. "Kau tau mengapa dia begitu gigih untuk menjadi seorang penulis? Karena Kushina tidak bisa menggapai mimpi itu, dan Naruto- dia ingin mewarisi mimpi ibunya. Mewujudkan mimpi ibunya adalah keinginannya."

"Tapi kau yakin? Dia akan setuju untuk meninggalkan Jepang? Kita tidak tau bagaimana perasaan anak itu, mungkin saja dia mempunyai seorang pacar kan?" Mei baru saja terpikirkan gagasan itu, bisa saja kan anak sambungnya punya orang yang spesial? Apa lagi, anaknya itu berada di usia remaja yang sedang begitu bergairah.

"Dan aku yakin dia akan meninggalkan apapun demi mewujudkan keinginan ibunya." Ucap Minato lagi.

TBC

Day by DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang