🍁 22 🍁

20K 3K 187
                                    

Maaf bagi yang komennya belum kubales, karena jujur aja aku masih bingung akses wattpad dari laptop. wkwkwkkwkwkkkwk, Nyai katrok yes. karena selama ini aktivitas onlenku hampir semuanya pake henpong, jadi agak gimana gitu. hehehehehe.

dalah, selamat membaca aja deh. gak usah banyak cingcong.

*************

Mengangkat kedua tangan yang saling berkaitan ke atas kepala, Suri mulai menggerakkan tubuhnya yang kaku cenderung pegal. Belum lagi udara dingin yang semakin menusuk sampai ke tulang, membuat tubuh Suri sedikit mengigil.

Paginya hari ini disambut dengan kabut tipis yang menghiasi pucuk pepohonan yang ada di depan teras belakang kamar inapnya, berhiaskan suara Tonggeret dan kicauan burung bersahut-sahutan khas tengah hutan sekali menambah kesan adem.

Suri sangat menikmati pagi harinya yang berkualitas seperti saat ini, meski dingin menusuk tapi udaranya begitu sejuk dan menyegarkan. Tak ada polusi udara seperti di Jakarta, pun suara bising kendaraan bermotor yang berlalu-lalang. Di sini yang Suri dengar justru suara aliran sungai yang mengalir tepat di bawah tebing tempat ia menginap, dan hal itu tak menyurutkan niat Suri berlama-lama di teras belakang.

Mendudukan diri di lantai kayu yang berada di teras tanpa pembatas, tapi masih cukup aman untuk ukuran orang dewasa. Menjuntaikan kedua kakinya, Suri bersenandung lirih seraya mengoyangkan kakinya dan menyesap pelan-pelan teh panasnya, tapi terasa hangat dalam lekapannya saking dinginnya udara pagi ini.

"Yank...," panggil Giandara dengan suara serak khas bangun tidurnya.

Suri menoleh sebentar dengan senyum kecil tersungging di wajahnya seraya menatap pria berambut berantakan, juga bertelanjang dada. Matanya menyipit, karena memang nyawanya belum terkumpul semua. Giandra menggosokkan tangannya yang bebas ke bagian dada hingga ke perutnya, sedang tangan satunya ia pakai untuk memegang ujung selimut yang tersampir di pundak.

"Ini dingin banget, Yank. Ngapain, sih, di sini?" rajuk Giandra yang mau tak mau duduk di sebelah Suri yang masih asyik menatap lurus ke pepohonan.

"Udaranya seger, Mas. Di Jakarta mana ada beginian?" Bukannya menjawab istrinya, Giandra justru beringsut duduk tepat di belakang Suri dan memeluknya berikut dengan selimutnya yang mampu menyelimuti mereka berdua.

"Yang ada kapan lagi kita bisa berduaan seperti ini?" Giandra menoleh ke arah Suri dan mengecup leher terbuka Suri kemudian kembali menumpuhkan dagunya di sekitar ceruk leher jenjang itu dan mengeratkan pelukannya.

Tanpa menjawab pertanyaan suaminya, Suri menenggelamkan tubuhnya dalam dekapan Giandra yang hangat. Jika harus menjawab ia sendiri pun tidak tahu kapan kebersamaan mereka akan bertahan seperti ini.

Terlalu banyak rintangan dan masalah yang akan menghadang mereka kedepannya. Ada banyak ketidakjujuran dalam hubungan mereka, baik dari sisi Suri pun dengan Giandra.

Ia masih belum mampu jika harus membuka jati diri pada suami sirinya itu, belum lagi tentang siapa ayah kandung Keiyona. Suri tak yakin jika Giandra mampu menerima semua itu. Sedangkan ia mulai terbiasa dengan keberadaan Giandra yang selalu ada di sekitarnya.

Suri mulai menerima keberdaan Giandra. Ia mulai tergantung akan diri Giandra, dan ia pun sepertinya merasakan getaran halus yang acap kali menyusup tanpa aba-aba ketika mereka menghabiskan waktu berdua seperti saat ini.

Bolehkah ia mengatakan jika ia mulai jatuh cinta pada sosok pria yang mendekapnya penuh kehangatan ini? Sedangkan ia menyadari jika hal itu tidak akan pernah mudah bagi hubungan mereka. Hubungan yang awalnya hanya berlandaskan napsu dan keinginan untuk memiliki karena ego yang tersentil.

Cinta AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang