"Iya" Balasnya bersemangat

Sebaliknya aku yang tidak bersemangat karena walau tidak berbadan gempal tapi mengangkat anak yang bukan balita pastinya cukup menguras tenaga.

Apalagi selama ini aku hanya pernah mengangkat barbel ukuran kecil itupun jarang. Mengendong keponakan saja aku tidak pernah karena aku anak tunggal jadi mana mungkin punya keponakan.

Saudara dari Papa jumlahnya sedikit dan mereka tinggal di luar pulau. Parahnya lagi Mama juga anak tunggal. Jadi anak yang dekat denganku hanya murid - muridku dan untungnya aku belum pernah diharuskan mengangkat mereka.

Merunduk lalu mengangkat badanya ke atas "Uppss ... Ra __ Raden cepat tangkap !" Ucapku tersenggal karena menahan beban badannya dengan kedua tangan. Kenapa juga tidak ku gendong di pundak tadi.

"Kurang ke kiri Bibi"

"Apa ??" Aku melangkah sambil menjaga kestabilan agar dia dan aku tidak terjatuh

"Kau salah arah Bibi, Itu arah kanan. Seharusnya Bibi ke kiri"

"Baik ... Ba__Baik ... tapi cepat tangkap Raden, tangan hamba ini sudah gemetar, Raden."

"Maju ke depan sedikit Bibi. Sedikit ... sedikit lagi Bibi. Bisakah Bibi mengangkatku lebih tinggi lagi, tanganku tidak sampai untuk menggapai kucing itu Bibi !"

"Astaga ..." Memejamkan mataku dan berusaha mengangkat badannya lebih tinggi lagi walau tanganku mulai gemetar dan takut jika peganganku terlepas dan anak itu bisa jatuh.

Namun badanku terkesiap, bebanku menghilang dan tanganku hanya menggapai udara kosong. Mataku terbuka serta membola kala melihat anak kecil tadi sudah berpindah di gendongan Raden Panji. Menyadari itu membuat badanku mundur ke belakang memberi jarak darinya.

"Ceroboh" Ucap Raden Panji pelan disertai tatapan tajam tepat ke arahku

"Nah ... dapat kau kucing kecil nakal ... terima kasih Romo" Ucap anak itu yang membuat mataku menatap mereka bergantian.

Menurunkan anak itu dan kucingnya dari gendongannya, tangannya mengelus rambut anak itu pelan "Apa yang kau lakukan di sini Reksa ? Bukankah tadi Romo sudah katakan jangan jauh - jauh dari Bimasena." Ucapnya lembut dengan pandangan penuh kasih sayang pada anak kecil itu ... Oh tepatnya pada anaknya.

Menyaksikan pemandangan itu membuatku membisu. Entah mengapa hal itu juga membuat sudut hatiku ikut tercubit. Mengelengkan kepalaku pelan mengusir pikiran aneh yang muncul. Buru - buru meraih keranjang buah yang aku letakkan lalu berjalan berbalik arah meningalkan mereka. Sayup - sayup kudengar Raden Reksa mulai bercerita dan aku juga merasa tatapan seseorang masih mengarah kepadaku. Namun hal itu tak aku pedulikan lagi.

***

"Astaga Rengganis, dari mana saja kamu ? Kita bisa terlambat" Omelan Sawitri menjadi ucapan selamat datang bagiku

Mengangkat keranjang di depan matanya "Mengambil buah kan ?"

"Lama sekali, ayo kita harus ke pendopo Pangeran sekarang, jika tidak kita akan tertinggal" Balasnya sambil mengambil keranjang buah dari tanganku lalu meletakkannya sembarangan. Kejadian selanjutnya, seperti biasa aku digeret secara tegesa - gesa. malas mendebat. Aku pasrah saja lagipula jujur aku sedang tak ingin banyak bicara untuk sekarang ini.

Mendekati pendopo langkah kami terhenti karena Pangeran Anusapati juga sedang berjalan keluar dari pendopo dengan langkah santai. Tentu dia tidak sendiri karena seperti biasa ada Raden Sadawira, Raden Panji, Madra dan Wasa. Namun pandanganku tertambat pada anak kecil yang kutemui tadi, dia berjalan di sebelah pria asing.

Mata kecilnya menemukan keberadaanku lalu pekikan terdengar "Bibi"

Suara itu membuat semua orang otomatis menghentikan langkahnya. Berpasang - pasang mata menatapku bergantian dengan anak kecil itu, membuatku tersenyum ke arah anak imut yang tidak lain adalah putra Raden Panji.

SINGASARI, I'm Coming! (END)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz