₊˚✧

433 50 72
                                    

"Lo nggak bawa kan, kausnya?!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lo nggak bawa kan, kausnya?!"

Jana menyipit ke arah Nolan yang daritadi sangat sinis dan melarang-larang Jana membawa kaus buluk favoritnya, dengan alasan nanti bisa-bisa disembunyikan oleh hantu lagi.

Omong kosong.

Padahal, Jana tadi sudah mengatakan pada Nolan bahwa ia benar-benar tidak membawa kausnya, tapi cowok itu ngotot dan terus memastikan bahwa Jana tidak benar-benar membawanya.

Benar-benar insting yang sangat kuat.

Karena, Jana memang membawanya. Diam-diam.

Siapa juga yang percaya hantu bisa suka dengan kaus buluk Jana? Hanya Nolan.

Weird is kinda his default, really.

"Tuh! Lo boong! Pasti lo diem-diem bawa, 'kan?!" Nolan balas menyipit ke arah Jana, membuat keduanya beradu kesipitan dan kesinisan yang akhirnya dipecahkan oleh Adam dengan lemparan M&M yang telak mengenai jidat keduanya.

"Sialan," ujar Nolan dan Jana kompak, tetapi tak urung keduanya akhirnya diam dan tidak membahas soal kaus lagi.

"Nggak capek apa debat mulu? Gua yang denger aja capek." Adam mengomentari sikap yang sangat kekanakan dari kedua temannya yang tidak berubah dari era SMA.

"Bukannya gitu, Dam, tapi lo tau sendiri kita udah berapa kali ke puncak, dan kausnya Jana selalu aja nggak ketemu waktu dicariin," dumal Nolan, melirik Jana yang sekarang sibuk dengan ponselnya. Rambut cowok itu diikat asal karena bagian depannya sudah memanjang, dan Jana benar-benar mewarnai rambutnya menjadi semi abu-abu saat resmi memasuki bangku kuliah. Kaos polos abu-abunya seolah mendukung tampilan yang sangat abu-abu dari seorang Janakarsa. Ditambah jins hitam dan vans-nya yang senada. Janakarsa versi gelap.

"Ya nggak disembunyiin hantu juga tapi ah. Elo kebanyakan baca thread di Twitter tau nggak?" balas Jana beberapa detik kemudian, setelah ia selesai dengan ponselnya, dan balas menatap Nolan. Jana sebenarnya agak kagum dengan ketidakinginan Nolan untuk memanjangkan rambutnya, karena cowok itu selalu memangkas rapi rambutnya dan mempertahankan warna aslinya—hitam kecokelatan, bukan karena dia bule, tetapi karena sering terkena matahari—daripada membuatnya aneh-aneh seperti teman-temannya yang lain. Cowok itu memakai kaus lengan panjang garis-garis warna-warni yang sangat amat Nolan... menurut Jana, setidaknya. Nolan memang terlalu banyak warna.

"Ketularan elo! Kan elo yang suka percaya mitos-mitos nggak jelas," Nolan membalas lagi. Wajahnya semakin sinis. Kedua tangannya bersedekap di depan dada.

Tanpa disangka-sangka, Genta yang sedang menyetir reflek menghentikan mobil di tepi jalan, persis di depan rumah kosong yang tampak creepy.

"Ngapain berhenti?" tanya Jana dan Nolan kompak, meski permusuhan di antara keduanya masih tampak membara.

"Selesein dulu ributnya di luar. Berisik." Genta menyandarkan punggungnya ke jok, lalu sibuk dengan ponselnya, membiarkan Jana dan Nolan yang akhirnya setuju untuk keluar dan menyelesaikan perdebatannya di luar, meninggalkan Genta dan Adam yang bertatapan seolah berujar, "Gila tu bocah dua."

fluorescent adolescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang