bagian enam

337 66 58
                                    

Jana melemparkan semua kertas-kertas, cokelat, bahkan surat yang ada di lokernya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jana melemparkan semua kertas-kertas, cokelat, bahkan surat yang ada di lokernya. Ia benar-benar tidak ada dalam suasana hati yang baik untuk meladeni kelakuan orang-orang yang Jana tidak pahami jalan pikirannya. Jana tidak melakukan apapun, tetapi surat dan segala hal itu tetap saja singgah di lokernya, sampai Jana akhirnya risih sendiri sekarang.

Ia baru saja ketahuan menyontek pekerjaan rumah Adam, dan mendapatkan hukuman untuk merangkum tugas entah apa di perpustakaan, sedangkan Adam dihukum membersihkan toilet laki-laki di koridor kelas sebelas. Bodoh, Jana.

Jana berjalan lunglai ke arah perpustakaan. Kalau ia boleh memilih, ia ingin menukar hukumannya dengan hukuman Adam. Pertama, karena ia memang tidak suka membaca sesuatu yang panjang, dan kedua, kalau membersihkan kamar mandi, Pak Taufik belum tentu melihat dan mengawasi, Adam bisa kabur kapan saja—meskipun, Pak Taufik juga tidak akan mengawasi Jana, tetapi tetap saja, ia harus mengumpulkan tugasnya, 'kan?

Jana mengedarkan pandangannya, mencari sebuah meja kosong yang kemungkinan bisa ia pakai untuk dirinya sendiri, tetapi matanya menangkap eksistensi Asa. Cewek mungil itu sedang duduk dan menekuni sebuah buku—sepertinya buku sejarah peminatan.

"Halo!" sapa Jana ceria. "Gua duduk sini, ya?"

Asa mendongak. Asa tadinya berharap ia bisa kabur dari Adrea dan Wynetta yang berdebat soal mading sekolah untuk mengerjakan tugasnya dengan damai dan sentosa di perpustakaan, tetapi kenapa ia justru bertemu Jana?

Bumi Janakarsa itu satu angkatan di atas Asa. Jago menyanyi—karena cowok itu tergabung sebagai vokalis di band jebolan ekstrakulikuler. Jago menggambar—karena gambarannya selalu mejeng di mading atas permintaan dari ketua ekstrakulikuler jurnalistik. Tetapi, sangat bodoh dalam masalah pelajaran. Cowok itu selalu digembar-gemborkan oleh berbagai guru. Guru kesenian jelas membanggakan Jana karena kemampuan seninya yang sangat jauh di atas rata-rata. Sedangkan guru matematika dan geografi biasanya lebih sering protes karena nilai cowok itu tidak bisa mencapai 5. Yang mana sebenarnya Asa kurang setuju dengan perlakuan guru-guru yang mengeluh soal Jana. Karena toh, siapa yang mau menjadi bodoh? Asa yakin Jana juga tidak mau dibicarakan seperti itu. Meskipun, nama Bumi Janakarsa tidak pernah tidak dibicarakan, baik oleh guru maupun siswanya.

"Eh, ditanyain juga. Bukannya jawab malah ngelamun."

Asa menatap Jana bosan. "Tanya apa?"

"Ngapain di perpus?"

Tidak penting.

"Emang ada larangannya gua nggak boleh di perpus gitu?"

Keduanya saling menatap dengan arti yang berbeda. Asa dengan tatapan jengkelnya, sedangkan Jana dengan mata yang sedikit menyipit karena ia masih tersenyum.

"Lima... En—"

"Apaan sih, Kak?" tanya Asa, langsung memotong acara tatap-tatapan yang tidak penting.

fluorescent adolescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang